Jumat, 11 April 2014

"Karma Sepakbola Indonesia"

Dalam dunia sepakbola profesional, pergantian pelatih secara mendadak bukan menjadi hal yang aneh dan mengagetkan. Berbagai alasan dikemukakan untuk menggusur atau mengangkat seorang pelatih. Dari mulai yang wajar, sedikit agak aneh, hingga yang tidak masuk akal. Akan tetapi memang begitulah dinamikanya.
Keringnya prestasi tim nasional Indonesia selama bertahun-tahun, tentu terjadi karena banyak faktor. Banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut, akibat dari iklim kompetisi di negeri ini yang kurang sehat dan profesional. Kurang diperhatiakannya pembinaan usia dini yang berjenjang dan berkesinambungan. Amburadulnya sistem organisasi di PSSI, dan lain sebagainya.
Kita tentu tidak dapat sepenuhnya menyalahkan opini-opini di atas, walau pendapat tersebut sebenarnya masih layak untuk dikaji ulang dan diperdebatkan. Untuk menjadi sukses tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Dan diantara banyak faktor tersebut, ada satu yang sering kali luput dari perhatian kita.
Adakah di antara kita yang berpikir, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia gagal, adalah terlalu seringnya terjadi pergantian pelatih tim nasional? Coba kita tengok ke belakang, berapa pelatih yang menangani tim nasional dalam kurun waktu 15 tahun terakhir? Sejak 1998 hingga saat ini, tercatat tim nasional Indonesia pernah dibesut oleh 12 orang pelatih.
Berawal dari Almarhum Rusdy Bahalwan di Tiger Cup 1998, kemudian sacara berurutan terdapat nama-nama seperti di bawah ini:
- Bernard Schumm (SEA Games 1999),
– Nandar Iskandar (Pra Piala Asia dan Piala Asia 2000)
– Dananjaya (Tiger Cup 2000)
– Benny Dolo (Pra Piala Dunia 2001)
– Ivan Kolev (Tiger Cup 2002, Pra Piala Asia dan Piala Asia 2004)
– Peter White (AFF Cup 2004, Pra Piala Dunia 2005 dan AFF Cup 2006)
– Ivan Kolev (Piala Asia 2007)
– Benny Dolo (AFF Cup 2008 dan Pra Piala Asia 2009)
– Alfred Riedl (AFF Cup 2010)
– Wim Rijsbergen (Pra Piala Dunia 2011)
– Nil Maizar (AFF Cup 2012)
– Manuel Blanco (Belum sempat memimpin laga timnas)
– Rahmad Dharmawan (Pra Piala Asia 2013)
– Jackson F. Thiago (Pra Piala Asia 2013)

12 pelatih dalam kurun waktu 15 tahun. Bandingkan dengan negara tetangga kita Singapura misalnya, yang menggunakan jasa Radojko Avramovic sejak 2003 hingga sekarang. Hal yang ingin saya sampaikan adalah, tidak ada kah orang di Federasi Sepakbola Indonesia yang berpikir bahwa lama seorang pelatih menangani tim nasional, sangat berpengaruh dengan hasil yang akan diraih oleh tim nasional itu sendiri.
Dalam hal ini kita bisa belajar bagaimana Singapura begitu yakin, percaya, dan menghargai Radojko sebagai seorang pelatih tim nasional. Raddy juga tidak luput dari kegagalan dalam beberapa turnamen, tetapi Federasi Sepakbola Singapura tetap yakin, sabar, dan percaya. Sekarang semua itu terbalas dengan tiga gelar Piala AFF di tangan Radojko Amvramovic.
Coba kita lihat apa yang terjadi di negara kita tercinta. Bagaimana seorang pelatih dapat mengimplementasikan ilmu serta keinginannya dengan maksimal, jika setiap gagal dalam satu turnamen, maka akan langsung diganti oleh pelatih yang lain. Secara tidak langsung hal tersebut juga akan menjadi kendala yang sangat besar bagi para pemain tim nasional.
Setiap pelatih memiliki gaya dan karakter masing-masing. Sebagai contoh pelatih A memiliki gaya dan karakter bermain dengan warna merah, maka dia akan memilih pemain yang sesuai untuk mendukung sistem bermain warna merah. Namun, karena dianggap gagal dalam sebuah turnamen oleh PSSI, maka seketika akan diganti dengan pelatih yang baru.
Pelatih baru, katakanlah si B datang dengan optimisme baru serta gaya dan karakter bermain warna Biru. Maka secara otomatis pelatih tersebut akan mengubah gaya bermain tim nasional, yang tadinya berwarna merah menjadi warna biru, sesuai dengan keinginannya.
Di sinilah letak permasalahan yang sesungguhnya. Bagaimana sebuah tim dapat meraih hasil maksimal, jika belum juga khatam belajar bermain dengan warna merah, sudah harus dirubah menjadi berwarna biru. Belum lagi ketika dalam turnamen berikutnya, gaya berwain warna biru tersebut dianggap gagal. Maka kemungkinan besar akan datang lagi pelatih baru, yang mungkin membawa warna yang lain ke dalam tim nasional.
Dapat Anda bayangkan betapa tertekannya para pemain tim nasional Indonesia, yang setiap saat harus siap untuk berubah-ubah seperti bunglon, hanya untuk memenuhi budaya instan serta cara berpikir egois dari para pengurus PSSI. Sedangkan masyarakat tidak akan mengerti dan peduli dengan hal tersebut. Ketika tim nasional gagal, maka yang goblok adalah para pemain.
Orang Indonesia itu suka sesuatu yang instan, mie-nya instan, budayanya instan, sukses pun maunya juga dengan cara yang instan. Hal ini yang menurut saya harus diubah. Pada 14 Januari 2008, saya sempat menulis perihal masalah tersebut di website saya www.bambangpamungkas20.com (Pelatih Tim Nasional – 2008).
Tidak hanya menulis, ketika itu saya juga sampaikan kegelisahan saya tersebut kepada pengurus PSSI, mengenai kebijakan yang menurut saya harus dikaji ulang. Akan tetapi pada kenyataannya kebiasaan gonta-ganti pelatih itu, tetap saja terjadi hingga saat ini.
Bahkan akhir-akhir ini hal yang lebih menyedihkan adalah, kebijakan untuk menggeser atau mengganti pelatih terkadang tidak lagi disebabkan oleh hasil yang diperoleh tim nasional, tetapi lebih kepada kebijakan politis dari para elite pengurus PSSI yang tengah berseteru. Apa yang terjadi kepada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cohtohnya.
Apa yang terjadi dengan Manuel Blanco, adalah preseden paling buruk dalam sejarah kepelatihan tim nasional Indonesia. Bagaimana seorang pelatih ditunjuk untuk mempersiapkan tim, tetapi kemudian tiba-tiba posisinya di ganti beberapa hari jelang laga digelar. Kemudian diangkat kembali menjadi pelatih timnas, sehari setelah laga yang seharusnya menjadi debutnya bersama tim nasional Indonesia.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa minggu kemudian, jabatan Manuel Blanco digeser menjadi pelatih tim nasional usia 19 tahun, hanya karena terjadi pergantian kepengurusan di tubuh Badan Tim Nasional Indonesia. Manuel Blanco tercatat sebagai pelatih tim nasional Indonesia, yang tidak pernah memimpin laga tim nasional.
Lelucon macam apa ini? Bukan begini cara memperlakukan seorang pelatih tim nasional bapak-bapak. Apa yang terjadi dengan Riedl, Wim, serta Nil Maizar juga tidak kalah memprihatinkan. Terlepas dari apapun hasilnya, apa yang terjadi pada Alfred Riedl, Wim Rijsbergen, Nil Maizar, dan Manuel Blanco adalah cerminan betapa tidak menghargainya para pengurus PSSI dalam memperlakukan pelatih tim nasional.
Mereka tidak pernah paham, bahwa salah satu faktor yang membuat tim nasional Indonesia tidak pernah berhasil menjadi sebuah tim yang solid, adalah terlalu seringnya tim nasional bergonta-ganti pelatih. Setiap pelatih baru akan selalu membawa hal-hal baru yang tentunya juga positif. Akan tetapi sudah selayaknya, jika pelatih lama juga mendapatkan apresiasi yang lebih baik dari apa yang terjadi saat ini.
Sejujurnya para pemain tim nasional tidak peduli dengan siapapun pelatih yang akan menangani tim nasional. Akan tetapi siapapun itu, alangkah sangat bijaksananya jika mereka diberi waktu yang lebih panjang dalam menangani tim nasional. Agar pelatih tersebut dapat menerapkan seluruh ilmunya dengan maksimal, sehingga pada akhirnya buah manis dari kerja kerasnya dapat kita sama-sama nikmati.
Akhir sekali, salah satu hal yang membuat saya bangga menjalani profesi sebagai seorang olahragawan adalah, apapun yang terjadi kami selalu mengawali dan mengakhirinya dengan jabat tangan. Begitu juga dengan para pelatih tersebut, terlepas dari hal tersebut sudah pasti menyakiti hati mereka, tetapi toh pada akhirnya mereka tetap berjabat tangan saat mengakhiri kerja sama dengan PSSI.
Akan tetapi kita semua tentu yakin dan percaya jika karma itu ada dalam kehidupan. Dan bisa jadi kegagalan demi kegagalan yang kita alami selama ini, adalah karma dari apa yang selama ini telah kita perbuat.

Dikutip dari sumber: http://www.bambangpamungkas20.com/bepe/baca/artikel/timnas/2013/05/04/151/karma-sepakbola-indonesia#.U0bkUM7l0z0

Bambang Pamungkas: "Saya Adalah Generasi Yang Gagal"

“Pada dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan mereka adalah cara berpikir, bersikap, bertindak serta bereaksi setiap individu terhadap segala permasalahan yang menghampiri mereka."

Malam sudah cukup larut, waktu menunjukkan pukul 23:35 malam. Dari jendela tampak di luar tengah turun hujan. Hanya gerimis memang, tapi cukup untuk membuat udara malam ini menjadi semakin dingin. Sebuah sosok berperawakan sedang bertelanjang dada, tengah duduk terpaku di pojok sebuah ruangan. Dalam suasana remang-remang di sebuah apartemen di jalan Rue de Caumartin, Paris.
Tatapan matanya kosong, raut wajahnya tampak beku, pikirannya jauh melambung membelah dingin dan basahnya langit malam ini. Dengan rambut acak-acakan serta kumis dan jenggot yang tampak mulai memanjang tak beraturan, membuat wajah orang ini tampak lusuh dan sedikit lebih tua dari umurnya.
Lelaki tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Bambang Pamungkas, iya lelaki itu adalah saya sendiri. Sudah lama saya membuat keputusan ini, dan sudah lama pula sebenarnya saya ingin menulis artikel ini. Akan tetapi entah mengapa, hati saya masih merasa begitu berat untuk sekedar menyampaikannya kepada khalayak ramai.
Hingga tiga hari yang lalu, di mana saya menerima sebuah kabar menyedihkan dari jarak 11.574 kilometer dari sini. Sebuah “peristiwa” yang sejujurnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan diri saya. Namun, kejadian tersebut membuat saya meyakini, bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada masyarakat, mengenai masa depan saya.
Awalnya saya pikir semuanya akan berjalan dengan mudah. Tinggal merangkai kata, upload ke blog pribadi dan kemudian di menyebarluaskan melalui akun twitter saya. Selesai perkara. Tetapi pada kenyataannya tidak semudah yang terpikir di benak saya. Butuh waktu lama untuk pada akhirnya saya berani untuk menulisnya. Padahal keputusan ini sudah saya ambil sejak empat bulan yang lalu. Iya, sejak empat bulan yang lalu.
Bagi mereka yang memperhatikan penampilan saya di perhelatan Piala AFF 2012, maka sejatinya ada hal yang tidak biasa tersaji di sana. Ketika itu pada detik-detik terakhir, saya memutuskan untuk menggunakan nama “PAMUNGKAS”, dari pada “BAMBANG” seperti yang biasa saya kenakan di jersey tim nasional saya.
Tentu hal tersebut bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Indonesia, kata pamungkas memiliki arti “menjadi yang terakhir”. Maka begitu pula dengan perjalanan karier saya bersama tim nasional. Saat itu saya memutuskan bahwa pagelaran Piala AFF 2012 akan menjadi penampilan resmi terakhir saya, bersama tim nasional Indonesia.
Bergabungnya saya ke tim nasional Indonesia ketika itu, bukanlah menjadi sebuah pilihan yang mudah. Pilihan yang saya ambil tersebut, bertentangan dengan kebijakan klub yang saya bela Persija Jakarta. Dan juga institusi di mana klub saya berafiliasi, dalam hal ini Liga Super Indonesia dan KPSI.
Pilihan tersebut jelas bukan tanpa risiko, baik bagi saya secara pribadi maupun masa depan karier sepakbola saya. Banyak orang yang menganggap saya ingkar janji, tidak sedikit yang menganggap saya sebagai seorang penghianat. Akan tetapi saya adalah saya, pribadi yang selalu berusaha untuk berkata benar jika memang benar, dan mengatakan salah jika memang demikian adanya, dengan apa pun resikonya.
Sesaat setelah latihan perdana bersama skuad tim nasional Indonesia, jelang AFF Cup 2012. Di sebuah pancuran air Gelora Bung Karno, saya berkata kepada salah satu sahabat saya. Keputusan saya untuk bergabung dengan tim nasional bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan. Karena saya tidak akan pernah bisa memaafkan diri saya jika saya tidak melakukannya. Dan setelah itu saya akan berhenti untuk selamanya.
Hal tersebut juga telah saya sampaikan kepada staf Badan Tim Nasional Indonesia. Oleh karena itu, ketika nama saya kembali masuk dalam daftar pemain untuk Kualifikasi Piala Asia 2015, saya menolak untuk hadir.
Berani mengambil sikap dengan apapun hasil dari pilihan yang kita ambil, adalah dua hal yang berbeda. Mengambil sebuah keputusan murni berada di tangan setiap individu. Sedang hasil dari keputusan yang kita ambil acap kali tergantung dari banyak hal, termasuk kehendak dari sang Maha Pencipta.
Sebagian orang berpikir bahwa saya sudah gila, karena mengorbankan seluruh reputasi dan karier saya, demi sebuah tim yang sudah diprediksi banyak orang akan mengalami kegagalan. Sebagian lagi berpikir saya salah melangkah, karena pada akhirnya tim nasional Indonesia harus kembali tersungkur dan bersimbah darah, di AFF Cup 2012.
Mereka berpikir saya telah merusak kredibilitas dan reputasi dengan menumpahkan tinta hitam di atasnya. Tetapi, tidak demikian bagi saya pribadi. Saya merasa telah mengakhiri perjalanan panjang bersama tim nasional, dengan sebuah kebanggaan dan kehormatan, setidaknya sebagai sebuah pribadi yang merdeka.
Rasa terima kasih dan hormat saya yang setinggi-tingginya, saya ucapkan kepada seluruh komponen tim nasional Indonesia di Piala AFF 2012. Orang-orang yang dalam segala keterbatasan dan tekanan publik yang begitu hebat, tetap berdiri di garda paling depan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui sepakbola.
Dengan apa pun hasilnya, menjadi sebuah kebanggaan besar bagi saya mengakhiri karier tim nasional saya, bersama rekan-rekan semua. Mati sebagai pemain tim nasional (pensiun) dengan cara seperti itu, membuat saya merasa sangat bahagia. Berjuang sampai titik darah penghabisan atas nama bangsa dan negara, dengan segala kendala dan risiko yang harus dihadapi, membuat saya merasa telah mati dengan cara yang sangat terhormat.
Terima kasih yang tidak terhingga untuk seluruh pendukung tim nasional Indonesia di manapun berada. Mereka yang dengan fanatisme luar biasa dan tak kenal lelah, selalu berdiri di belakang panji-panji tim nasional Indonesia. Mereka yang selalu bernyanyi, menari dan berteriak menyemangati dalam setiap perjuangan saya bersama tim nasional Indonesia. Tidak lupa permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya, karena selama karier saya bersama tim nasional Indonesia, tidak sekalipun saya mampu memberikan kebahagiaan untuk kalian semua.
Tanggal 23 Maret 2013, merupakan hari bersejarah bagi sepakbola Indonesia, khususnya tim nasional. Karena setelah sekian lama terbelah menjadi dua, pada hari itu tim nasional Indonesia kembali berada di bawah satu berdera. Dan untuk pertama kalinya setelah cukup lama, stadion utama Gelora Bung Karno kembali memerah dipenuhi pendukung militan tim nasional Indonesia.
Dengan atau tanpa muatan tertentu, langkah penyatuan tim nasional Indonesia layak diberi apresiasi positif yang setinggi-tingginya. Setidaknya, di dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, ternyata masih ada rasa sebangsa dan setanah air. Walaupun mungkin kesepakatan tersebut, dilandasi oleh negosiasi-negosiasi tertentu.
Sedangkan bagi saya pribadi, melihat para pemain nasional kembali bergairah untuk memenuhi panggilan negara dan bersatu kembali dalam satu bendera tim nasional Indonesia, tentu menjadi sebuah kebahagiaan yang luar biasa. Bukankah hal tersebut yang selama ini “kita” perjuangkan bersama-sama?
Menjadikan kembali tim nasional Indonesia sebagai representasi kekuatan terbaik sepakbola di Indonesia. Mengembalikan kesakralan sebuah tim nasional, yang akhir-akhir ini disepelekan oleh orang-orang yang bertindak atas nama kepentingan-kepentingan tertentu. Serta menjadikan kembali Gelora Bung Karno sebagai tempat yang angker bagi siapapun tim lawan yang hadir di sana, dengan suasana riuh serta gegap gempita dari seluruh pendukung merah-putih. Itu adalah hal yang selalu kita perjuangkan, selama dua tahun terakhir.
Selamat berjuang untuk talenta-talenta terbaik sepakbola Indonesia. Kibarkanlah panji-panji kebesaran sepakbola kita setinggi-tingginya. Bermainlah untuk dirimu, orang-orang yang kamu cintai (keluarga), dan lambang Garuda di dadamu (rakyat Indonesia).
Keputusan ini mungkin mengingkari janji saya sendiri tiga belas tahun lalu, janji setia saya kepada tim nasional Indonesia. Akan tetapi dengan segala dinamika dan pergolakan yang terjadi dalam sepakbola Indonesia, selama dua tahun terakhir. Membuat saya merasa yakin, jika sekarang adalah saat yang tepat bagi saya untuk melakukannya. Lagi pula dengan nama-nama mumpuni di barisan depan tim nasional Indonesia saat ini, rasanya tenaga saya sudah tidak lagi terlalu dibutuhkan.
Saya mengawali tiga belas tahun karier saya bersama tim nasional dengan sebuah harapan besar, dan mengakhirinya dengan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemenangan dari segala bentuk pemaksaan kehendak terhadap diri saya. Kemenangan diri saya atas nama sebuah kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, menentukan sikap, serta bertindak atas nama sebuah hal yang saya yakini akan kebenarannya.
Boleh saja orang menilai saya sebagai seorang penghianat dari kelompok saya, tetapi satu hal yang pasti, bahwa saya tidak pernah mengkhianati hati dan profesi saya. Sebuah profesi yang sangat saya cintai dan banggakan, sebagai pemain sepakbola.
Pada akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak ada satu gelar bergengsi yang mampu saya berikan untuk Indonesia. Dan oleh karena itu seperti yang pernah saya janjikan, maka di akhir artikel ini saya akan berteriak dengan lantang, jika “Saya Adalah Generasi Yang Gagal.”
Melalui tulisan ini, maka secara resmi saya menyatakan mundur dari tim nasional Indonesia.
“Cepat atau lambat, jersey merah-putih itu akan tanggal dari badanku. Tetapi satu hal yang pasti, lambang garuda itu akan tetap melekat di dada kiriku, tinggal di sana sampai akhir hayatku.”
“Garuda di Dadaku, Garuda Kebanggaanku”

Dikutip dari sumber: http://www.bambangpamungkas20.com/bepe/baca/artikel/timnas/2013/04/01/146/saya-adalah-generasi-yang-gagal#.U0bjiM7l0z0

Permintaan Terhadap Faktor-Faktor Produksi



Permintaan Terhadap Faktor-Faktor Produksi

A.      Pentingnya Analisa Penentuan Harga Faktor
Sedikit-dikitnya terdapat dua alasan yang menyebabkan kebutuhan untuk menganalisis permintaan dan penawaran ke atas faktor-faktor produksi. Yang pertama, analisis tersebut akan menjelaskan prinsip untuk menggunakan dan mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien. Yang kedua, analisis tersebut akan menjelaskan bagaimana pendapatan berbagai faktor produksi ditentukan.

1.    Pengalokasian Faktor – Faktor Produksi
Memaksimumkan produksi dapat diciptakan oleh sumber daya yang tersedia. Di dalam setiap perusahaan usaha untuk menciptakan pengalokasian faktor–faktor produksi yang optimal harus dijalankan. Tindakan itu akan membantu tujuan keseluruhan perekonomian untuk mengalokasikan sumber–sumber daya dalam perekonomian secara efisien. Keuntungan dan ketahanan (survival) perusahaan tergantung pada kemampuan perusahaan untuk menggunakan faktor – faktor produksi yang dapat diperolehnya secara efisien.

2.    Penentuan Pendapatan dan Distribusi Pendapatan
Setiap faktor produksi dalam perekonomian adalah milik seseorang. Pemiliknya menjual faktor produksi tersebut kepada para pengusaha, dan sebagai balas jasa, mereka akan memperoleh pendapatan. Tenaga kerja mendapat gaji dan upah. Tanah memperoleh sewa. Modal memperoleh bunga dan keahlian keusahawanan memperoleh keuntungan. Pendapatan yang diterima masing–masing faktor produksi tergantung harga dan jumlah yang digunakan.
Harga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh berbagai faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan suatu barang. Hasil penjualan adalah jumlah dari seluruh pendapatan faktor produksi yang digunakan. Pendapatan nasional adalah nilai seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh perusahaan–perusahaan yang ada di dalam negara tersebut, dan merupakan jumlah pendapatan berbagai faktor produksi yang ada dalam perekonomian.
Analisis mengenai permintaan atas faktor produksi tidak hanya akan menjelaskan tentang penentuan harga faktor produksi tapi juga pendapatan dari masing–masing faktor produksi dan distribusi pendapatan ke berbagai jenis faktor produksi. Teori tentang penentuan harga faktor produksi sama dengan teori distribusi.

B.       Teori Produktivitas Marjinal
Suatu faktor produksi akan menciptakan keuntungan yang paling maksimum apabila ongkos produksi tambahan yang dibayarkan kepada faktor produksi itu sama dengan hasil penjualan tambahan yang diperoleh dari produksi tambahan yang diciptakan oleh faktor produksi tersebut.
1.  Menentukan Jumlah Faktor Produksi yang Digunakan.
Pada tingkat penggunaan faktor produksi tertentu, produsen telah mencapai keuntungan maksimum. Apabila penggunaan faktor produksi terus bertambah, keuntungan akan berkurang dan apabila jumlah tenaga kerja yang digunakan dikurangi, keuntungan juga akan berkurang.
2.    Permintaan Atas Faktor Produksi.
Dalam teori ini terlebih dahulu perlu dibuat beberapa permisalan, yaitu :
·           Perusahaan menjual barang dalam pasar persaingan sempurna, harga barang tidak berubah walaupun jumlah yang dijual berbeda.
·           Hanya 1 saja faktor produksi yang jumlah penggunaannya dapat diubah–ubah. Misalnya tenaga kerja.
·           Perusahaan membeli faktor produksi yang dapat mengalami perubahan itu dalam pasar faktor produksi yang bersifat persaingan sempurna.
Berdasarkan permisalan tersebut, hubungan diantara banyaknya faktor produksi yang digunakan dengan tambahan hasil penjualan ditunjukkan dalam tabel berikut :
Jumlah
Produksi
Produksi fisik
Harga
Harga penjualan
Hasil penjualan
pekerja
fisik total
marjinal
Barang
produksi total
produksi marjinal
(L)
(TPP)
(MPP)
(P)
(TRP = TPP x P)
(MRP - MPPxP)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0
0
-
 Rp  5.000
 Rp         -
 Rp     -
1
24
24
 Rp  5.000
120000
120000
2
45
21
 Rp  5.000
22500
105000
3
63
18
 Rp  5.000
31500
90000
4
78
15
 Rp  5.000
390000
75000
5
90
12
 Rp  5.000
450000
60000
6
99
9
 Rp  5.000
495000
45000
7
105
6
 Rp  5.000
525000
30000
8
108
3
 Rp  5.000
540000
15000
9
108
0
 Rp  5.000
540000
0

3.       Tingkat Produksi dan Hasil Penjualan
Pertambahan produksi dinamakan Produksi fisik Marginal atau MPP (Marginal Physical Product). Sedangkan jumlah produksi fisik adalah TPP atau Total Physical Product. Hasil penjualan produksi total adalah Total Revenue Product (TRP). Hasil penjualan produksi marjinal yaitu Marginal Revenue Product (MRP).
IMG_0005.jpg
4.       Jumlah Faktor Produksi yang Digunakan
Ditinjau dari sudut penggunaan faktor–faktor produksi, seorang produsen akan memaksimumkan keuntungannya apabila melakukan kegiatan produksi sampai pada tingkat dimana hasil penjualan marjinal sama dengan harga faktor atau MRP.

1.3    Persaingan Tidak Sempurna dan Permintaan Atas Faktor Produksi
1.       Permintaan Faktor : Contoh Angka
Dalam pasar barang yang bersifat persaingan tidak sempurna harga akan menjadi semakin rendah pada tingkat produksi/penjualan barang yang semakin tinggi. Harga yang semakin rendah ini menyebabkan hasil penjualan dan hasil penjualan marjinal pada setiap tingkat penggunaan tenaga kerja adalah lebih rendah dari yang terdapat dalam pasar persaingan sempurna. Angka–angka dalam tabel berikut akan membuktikan kebenaran pernyataan tersebut:
Jumlah
Produksi
Produksi fisik
Harga
Harga penjualan
Hasil penjualan
pekerja
fisik total
marjinal
Barang
produksi total
produksi marjinal
(L)
(TPP)
(MPP)
(P)
(TRP = TPP x P)
(MRP - MPPxP)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0
0
-
 -
 Rp      -
 Rp     -
1
24
24
 Rp  5.000
120000
120000
2
45
21
 Rp  4.800
216000
96000
3
63
1
 Rp  4.600
289000
73000
4
78
15
 Rp  4.400
343000
53000
5
90
12
 Rp  4.200
378000
34000
6
99
9
 Rp  4.000
396000
18000
7
105
6
 Rp  3.800
399000
3000
8
108
3
 Rp  3.600
388000
-10200
9
108
0
 Rp  3.400
367000
-21600

2.     Grafik Permintaan Faktor
Kurva hasil penjualan produksi marginal di dalam pasar persaingan tidak sempurna akan selalu terletak di sebelah kiri dari kurva hasil penjualan produksi marginal di dalam persaingan sempurna. Keadaan ini disebabkan karena pada tingkat penggunaan tenaga kerja yang lebih tinggi, harga barang menjadi lebih murah. Maka pada setiap tingkat penggunaan tenaga kerja, tambahan hasil penjualan dalam pasar persaingan tidak sempurna adalah lebih rendah dari yang diperoleh dalam pasar persaingan sempurna.

1.4      Sifat Permintaan Atas Faktor Produksi
a.    Permintaan Terkait
Permintaan seorang pengusaha atas faktor–faktor produksi mempunyai sifat berbeda–beda. Permintaan tersebut dipengaruhi oleh keinginan pengusaha untuk menghasilkan barang–barang yang akan dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Selama pertambahan penggunaan suatu faktor produksi akan menambah keuntungannya, lebih banyak faktor produksi tersebut akan digunakannya. Oleh karena permintaan pengusaha atas sesuatu faktor produksi ditentukan oleh kemampuan faktor produksi tersebut untuk menghasilkan barang yang dapat dijual pengusaha itu dengan menguntungkan, permintaan atas faktor–faktor produksi dinamakan permintaan terkait / Derived Demand.
b.   Bentuk Kurva Permintaan Atas Faktor Produksi
Kurva permintaan atas faktor produksi menurun dari kiri atas menuju kanan bawah. Kurva seperti itu menggambarkan bahwa makin tinggi harga faktor produksi, makin sedikit permintaan ke atas faktor produksi tersebut. Kurva permintaan atas suatu faktor pada umumnya menurun ke bawah karena :
§  Perubahan harga akan merubah pendapatan riel pembeli dan perubahan pendapatan riel ini selanjutnya mempengaruhi permintaannya.
§  Perubahan harga merubah kepuasan relatif dari mengonsumsikan barang itu jika dibandingkan dengan barang lain.
Permintaan atas suatu faktor produksi digambarkan oleh kurva yang menurun ke bawah disebabkan oleh :
Ø Harga faktor produksi yang lebih tinggi akan menaikkan harga barang yang dihasilkannya, maka harga barang tersebut akan naik dan permintaannya berkurang, yang selanjutnya menimbulkan pengurangan ke atas permintaan faktor produksi.
Ø Perubahan harga akan menimbulkan penggantian dari faktor produksi yang menjadi relatif mahal kepada faktor produksi yang relatif murah.
Ø Sebagai akibat dari pengaruh hukum hasil lebih yang semakin berkurang.

1.5    Pergeseran Kurva Permintaan Faktor Produksi
Terdapat beberapa faktor yang dapat menggeser kurva permintaan produsen ke atas faktor–faktor produksi :
v  Perubahan permintaan ke atas barang yang diproduksinya.
v  Perubahan harga dari faktor produksi lain yang digunakan.

1.6  Elastisitas Permintaan Faktor Produksi
Sesuatu perubahan harga faktor produksi akan menimbulkan akibat yang berlainan atas perubahan jumlah berbagai faktor produksi yang digunakan.
Elastisitas Permintaan Dari Barang yang Dihasilkan
Makin besar elastisitas permintaan ke atas barang yang dihasilkan, makin besar pula elastisitas permintaan ke atas faktor produksi.

Perbandingan di Antara Ongkos yang Dibayar Kepada Faktor Produksi Dengan Ongkos Total
Makin besar bagian dari ongkos produksi total yang dibayarkan kepada sesuatu faktor produksi, makin lebih elastis permintaan faktor produksi tersebut.

Tingkat Penggantian di Antara Faktor Produksi
Makin banyak faktor–faktor produksi lainnya yang dapat menggantikan suatu faktor produksi tertentu, semakin elastis permintaan atas faktor produksi tersebut.

Tingkat Penurunan Produksi Fisik Marjinal (MPP)
Makin cepat penurunan produksi fisik marginal makin tidak elastis permintaan atas faktor produksi yang bersangkutan.

1.7    Penentuan Penggunaan Optimum Atas Faktor Produksi
a.        Gabungan Faktor Produksi yang Meminimumkan Biaya
Penggunaan faktor–faktor produksi akan meminimumkan ongkos apabila setiap rupiah yang dibayarkan kepada faktor produksi menghasilkan produksi fisik marjinal yang sama besarnya. Produksi fisik marjinal dari modal tersebut tenaga kerja untuk setiap rupiah adalah :
a)    MPP per rupiah dari modal = Pl = MRPl
b)   MPP per rupiah dari tenaga kerja = Pc = MRPc
b.       Gabungan Faktor Yang Memaksimumkan Keuntungan
Penggunaan faktor–faktor produksi akan memaksimumkan keuntungan apabila harga faktor produksi dengan penjualan marjinal yang sama besarnya. Produksi fisik marjinal dari modal tersebut tenaga kerja untuk setiap rupiah adalah :
a)    MPP per rupiah dari modal = Pl = MRPl
b)   MPP per rupiah dari tenaga kerja = Pc = MRPc