DEMOKRASI itu berasal dari kata
latin yang secara harfiah berarti Kekuasaan Untuk Rakyat. Atau oleh
pendukungnya disebutkan sebagai: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk
Rakyat. Setiap orang, siapa pun dia, memiliki satu suara yang sama
nilainya. Jadi, dalam demokrasi, yang dipresentasikan dalam bentuk
Pemilihan Umum, suara seorang pelacur, suara seorang perampok, suara
seorang penzina, suara seorang pembunuh, suara seorang munafik, dan
suara seorang musuh Allah itu dianggap
senilai dan sederajat dengan suara seorang ustadz yang benar-benar
ustadz, atau dianggap sama dan sederajat dengan suara orang yang
sungguh-sungguh memperjuangkan Islam.
Kenyataan inilah yang menegaskan jika sesungguhnya Islam tidak
bersesuaian dengan demokrasi. Allah SWT di dalam al-Qur’an telah dengan
tegas menyatakan jika semua manusia itu sama namun yang membedakannya
adalah kadar ketakwaannya. Jadi dihadapan Allah SWT, orang yang
sungguh-sungguh menjual hidupnya untuk meninggikan Islam itu tidaklah
bisa dianggap sama dan sederajat dengan para perampok, pembunuh, dan
penzina. Prinsip demokrasi nyata-nyata bertentangan dengan Prinsip
Islam. Islam hanya mengenal Syuro, bukan demokrasi. Dalam Syuro, suara
seorang ulama besar dan tinggil keilmuannya, yang terbukti perjalanan
hidupnya bersih dari cacat dan cela, lebih tinggi dan bernilai ketimbang
orang awam.
Pertentangan antara demokrasi dan syuro tersebut
sesungguhnya wajar karena Demokrasi memang tidak dilahirkan dari rahim
Islam. Demokrasi lahir dalam sejarah Barat, dari Plato. Dan adalah
ironis, Plato sendiri, Sang Bapak Demokrasi, pun ternyata dalam hidupnya
tidak menerapkan prinsip demokrasi ini. Plato memiliki ratusan budak
yang bisa sesuka hatinya diperintah olehnya. Dan adalah juga kenyataan
sejarah jika kerajaan Yunani tempat Plato hidup pun tidak pernah
melaksanakan demokrasi. Demokrasi berkembang cepat setelah Revolusi
Perancis yang terkenal dengan istilah Liberte, Egalite, dan Fraternite.
Kedengarannya bagus, tapi kita harus kritis menelaahnya.