Kasus 1:
STRUKTUR PASAR TELKOMSEL DAN INDOSAT: OLIGOPOLI KOLUSIF?
“Temasek
Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen
saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel”
Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?
Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut.
Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.
Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.
Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli, inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam KOLUSI.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.
Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat (baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa batas waktu.
Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?
Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut.
Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.
Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.
Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli, inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam KOLUSI.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.
Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat (baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa batas waktu.
Kasus 2
Persaingan Pada Pasar Oligopoli, Kasus: Industri Chip Microprocessor
1.Pendahuluan
Pergulatan untuk mempertahankan posisi dominan di pasar, sampai pada kondisi tertentu seringkali membutuhkan tidak hanya keunggulan teknologi, kehandalan jajaran manajemen, namun juga kepiawaian merancang dan melaksanakan strategi bisnis serta kemahiran dalam berperkara di pengadilan. Suasana seperti ini tergambar dalam persaingan antara Advanced Micro Devices (AMD) dan Intel, keduanya merupakan produsen chip microprocessor, suatu perangkat utama dalam komputer. Bagi Intel yang lebih dahulu eksis dan menguasai hampir 60% pangsa pasar, persaingan dengan AMD merupakan upaya agar selalu waspada bahwa ada “orang lain” yang dapat menggerogoti kue bisnisnya. Sementara itu, bagi AMD, pertarungannya dengan Intel merupakan pertaruhan untuk merebut kehormatan dan kelangsungan hidup.
Pergulatan untuk mempertahankan posisi dominan di pasar, sampai pada kondisi tertentu seringkali membutuhkan tidak hanya keunggulan teknologi, kehandalan jajaran manajemen, namun juga kepiawaian merancang dan melaksanakan strategi bisnis serta kemahiran dalam berperkara di pengadilan. Suasana seperti ini tergambar dalam persaingan antara Advanced Micro Devices (AMD) dan Intel, keduanya merupakan produsen chip microprocessor, suatu perangkat utama dalam komputer. Bagi Intel yang lebih dahulu eksis dan menguasai hampir 60% pangsa pasar, persaingan dengan AMD merupakan upaya agar selalu waspada bahwa ada “orang lain” yang dapat menggerogoti kue bisnisnya. Sementara itu, bagi AMD, pertarungannya dengan Intel merupakan pertaruhan untuk merebut kehormatan dan kelangsungan hidup.
1.1. Perkembangan Industri Semikonduktor
Akhir 60-an hingga awal 70-an
merupakan kurun waktu yang menandai diawalinya produk Teknologi Informasi,
beberapa di antaranya adalah mini-computer, modulator-demodulator (Modem),
integrated circuits (IC), hingga teknologi yang memungkinkan pesawat ruang
angkasa Apollo mendarat di Bulan. Semua inovasi dan karya besar ini
dimungkinkan setelah ditemukannya bahan Silicon yang selanjutnya digunakan
sebagai komponen utama bahan semi penghantar listrik (semiconductor).
Pertengahan 70-an mulai menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap microprocessor dan core memory, ketika banyak perusahaan elektronika mulai menyadari banyak aplikasi menggunakan semikonduktor dapat diterapkan pada produk konsumer maupun bisnis. Barang – barang elektronik, seperti radio, televisi, amplifier, jam tangan, kalkulator, telepon, facsimili, dan masih banyak lagi merupakan produk elektronika yang memanfaatkan semikonduktor dalam wujud transistor, atau IC. Kemampuan komputer melakukan kerja komputasi juga semaikn meningkat dengan penggunaan semikonduktor menggantikan tabung hampa udara (vacuum tubes). Jika semula, dengan teknologi transistor komputer main frame merupakan produk unggul dengan kemampuan time-sharing, dengan ditemukannya IC, penggunaan komputer tidak lagi bergantung pada ketersambungan kepada main frame, namun individu dapat menggunakan komputer pribadi di mejanya (desktop personal computer / PC).
Awal 80-an ditandai dengan mulai menanjaknya penggunaan PC, tidak saja di kantor namun juga mulai dipakai di rumah, dan mengubah tata cara berkomunikasi, bekerja, dan pemrosesan informasi. Tahun 1986 terjadi penurunan tajam permintaan terhadap PC yang berdampak pada pengurangan permintaan terhadap chip microprocessor. Intel dan AMD di satu sisi dan dan pelanggan mereka, yang notabene adalah perusahaan – perusahaan produsen PC berjuang untuk menemukan keunggulan kompetitif baru terutama didorong oleh makin sulitnya lingkungan bisnis. Pada pertengahan hingga akhir dekade 80-an, dengan microprocessor i386 dan i486 Intel berhasil mendominasi pasar microprocessor untuk PC, sehingga produsen PC hanya memiliki satu sumber. Kondisi ini berubah ketika tahun 1991 AMD mulai berhasil membuat processor yang dapat bersaing dengan produk Intel.
Di pihak lain, awal 90-an komunikasi selular mulai tumbuh, demikian pula Internet mulai memasuki tahap komersial setelah beberapa tahun sebelumnya dilepas oleh Pemerintah Amerika Serikat dari penggunaan khusus untuk militer agar dapat digunakan oleh masyarakat awam. Komunikasi data dan mobile computing mulai merebak, integrasi antara telekomunikasi dan teknologi informasi tidak terelakkan. Pertengahan hingga akhir dekade 90-an produsen dan masyarakat pengguna PC mulai menikmati buah kompetisi baru di industri microprocessor. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan bahwa sementara kemajuan teknologi bergerak sangat cepat, menjadi jelas bahwa perusahaan penghasil teknologi perlu bekerja sama untuk memberikan teknologi yang dibutuhkan pelanggan, dari pada melakukan inovasi hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Memasuki abad milenium yang ditandai dengan hiruk pikuk produk teknologi informasi, muncul peningkatan permintaan terhadap PC yang dilengkapi dengan sarana akses Internet dan komunikasi nirkabel (internet-ready and wireless comunication devices). PC yang tidak dilengkapi kedua perangkat ini menjadi tidak laku di pasaran. Awal milenium juga ditandai dengan melejitnya bisnis dotcom yang meski relatif sebentar namun dapat menghidupkan kembali gairah industri Teknologi Informasi (TI). Ketika bisnis dotcom tidak mewujudkan janjinya, industri TI secara umum, termasuk semiconductor, mengalami penurunan kinerja. Kondisi ini juga ditunjang oleh evolusi strategi produsen PC yang semula memfokuskan pada perluasan produk kepada penggantian komponen dan peningkatan kapasitas komputer dengan peralatan tambahan (peripherals).
Meski dihadapkan pada tuntutan untuk membangun perusahaan agar lebih ramping, namun pada awal 2001 permintaan terhadap TI, khususnya kompuer yang Internet-ready masih tetap kuat. Namun demikian peristiwa penghancuran gedung World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001 mengubah segalanya. Kinerja industri semikonduktor mengalami penurunan paling tajam dalam sejarah, sementara perusahaan dituntut untuk selalu kompetitif. Awal tahun 2002 menunjukkan gejala perbaikan. Penjualan consumer electronics meningkat, didorong oleh penjualan DVD, perekam-suara digital, dan kamera digital. Tahun 2003 industri TI kembali menancapkan kakinya, permintaan kembali menguat, dan hal ini mendorong peningkatan harga saham perusahaan - perusahaan TI. Penjualan PC tumbuh dengan mantap, wireless computing memperoleh momentumnya, dan komputasi 64-bit memasuki arus utama.
1.2. Lisensi sebagai Awal Persaingan
Lembah Silicon (Silicon Valey) di
California melahirkan teknologi khususnya Teknologi Informasi (TI) yang setelah
diimplementasikan di pasar mengubah tatanan industri, masyarakat, dan bahkan
tata hubungan dunia. Komputer salah satunya. Ditemukannya bahan silikon yang
memiliki sifat semi-penghantar listrik (semi-conductor) mengilhami dibuatnya
transistor yang selanjutnya digunakan sebagai pengganti tabung hampa udara
(vacuum tube) yang sebelumnya digunakan sebagai komponen inti perangkat
elektronika. Perubahan besar terjadi setelah digunakannya transistor. Ukuran
fisik komputer yang semula besar sekali berangsur mengecil, demikian pula
kapasitas pengolahan data melonjak cukup besar dibandingkan dengan ketika masih
menggunakan tabung hampa udara.
Perkembangan teknologi terus bergulir, transistor yang semula ukurannya sudah seper-sekian dari tabung hampa udara, dengan ditemukannya teknologi mikro elektronik dapat dibuat semakin kecil dan dirangkai dalam sebuah integrated circuit (IC). Awalnya, dalam satu IC yang berdimensi 0.5 x 3 x 1cm (tebal x panjang x lebar), terdapat setidaknya 1000 transistor. Awal tahun 2006, dengan kemampuan yang makin berkembang, IC dengan dimensi sama dapat terdiri dari 100.000 transistor. Akibat peningkatan kemampuan untuk memperkecil ukuran IC, perangkat elektronik digital berukuran makin kecil sementara kemampuannya (features) makin banyak bahkan hampir tidak terbatas.
Intel muncul di masa komputer digital baru diperkenalkan. Pembuat IC terbesar pada masa itu adalah Fairchild yang mengoperasikan pabrik di banyak negara termasuk Indonesia. Pendiri Intel – Bob Noyce dan Gordon Moore – meninggalkan Fairchild setelah keduanya melihat peluang yang sangat besar apabila mereka membangun bisnis sendiri. Intel semula menekuni bisnis pembuatan chip IC yang digunakan sebagai Random Access Memory (RAM). Dalam perjalanan waktu, dan sebagai reaksi atas munculnya pemain baru dari Jepang (NEC, Fujitsu, Toshiba, Sharp, dll.) maupun dari dalam negeri (USA), Intel akhirnya menghentikan produksi RAM dan fokus hanya pada memroduksi microprocessor.
Tidak lama setelah Intel berdiri, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1969 Jerry Sander – mantan pegawai Fairchild – mendirikan Adanced Micro Devices (AMD) yang produknya sebagian besar sama dengan yang dibuat oleh Intel. Berdirinya AMD menambah pemasok IC dan tentu saja mengubah situasi industri IC yang semula dikuasai oleh Fairchild, Motorola, Texas Instrument, Zilog, dan Intel. Dalam perjalanan waktu Fairchild perlahan – lahan mengurangi perhatian pada produksi IC, sementara Motorola mulai fokus pada perangkat telekomunikasi, sehingga praktis pada industri microprocessor pemain utamanya tinggal Intel dan AMD.
Persaingan Intel versus AMD diawali pada tahun 1975 ketika Intel memberi lisensi kepada AMD untuk membangun microprocessor-nya sendiri menggunakan rancangan microprocessor 8080A karya Intel. Berangkat dari lisensi Intel inilah, AMD membangun kompetensi barunya di industri microprocessor. Perjalanan waktu membuktikan, pertarungan dua perusahaan ini dalam memengaruhi standar komputer, agar produsen komputer menggunakan processor hasil produksinya, tidak saja merupakan pergulatan membangun teknologi baru, tetapi juga melibatkan kegiatan mata – mata (industrial spionage), perjuangan di pengadilan, serta melibatkan politisi dan pejabat pemerintah di berbagai negara di mana kedua perusahaan ini eksis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar