MATERI
KONFLIK LUAR
NEGERI ANTAR NEGARA
Penulis :
Dinnirwan Rusti
SMAN
1 SEJANGKUNG
TAHUN AJARAN 2012/2013
TAHUN AJARAN 2012/2013
BABAK BARU
SENGKETA BATAS MARITIM DI TELUK BENGAL
Pada tanggal 16
Desember 2009, the International Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS
(selanjutnya disebut tribunal) mengumumkan bahwa baru saja menerima berkas
sengketa batas maritim antar negara untuk diselesaikan. Sengketa tersebut
melibatkan dua negara bertetangga di perairan Teluk Bengal, yaitu Bangladesh
dan Myanmar. Di luar itu, perlu dicatat bahwa Bangladesh juga sedang
mempersiapkan pengajuan sengketa batas maritimnya dengan India ke Mahkamah
Internasional. Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari
sengketa-sengketa ini.
Pertama, kasus antara
Bangladesh dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang
ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan
15 kasus di bidang hukum internasional. Sebagai latar belakang, Tribunal
dibentuk sebagai bagian dari tindak lanjut lahirnya Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS 1982) yang mana Tribunal memiliki kompetensi untuk
menyelesaikan berbagai sengketa terkait hukum laut internasional.
Kedua, Myanmar menjadi
negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan
sengketa batas maritimnya melalui jalur Mahkamah Internasional. Sebagai
catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di Mahkamah Internasional
terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait masalah
maritime. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa
di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura terkait kedaulatan beberapa
karang dan elevasi surut di Selat Singapura.
Ketiga, sengketa antara
Bangladesh, India dan Myanmar pada dasarnya bermula dari usaha kedua negara
untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Bengal yang sangat kaya dengan
cadangan minyak dan gas. Kedua negara telah menetapkan beberapa zona blok
konsesi migas di perairan yang mereka klaim, yang tentunya tidak diakui oleh
pihak lainnya.
Lebih jauh lagi, juga
dalam rangka mengamankan cadangan gas dan minyak di perairan tersebut, para
pihak juga melakukannya melaui forum internasional. Sebagai contoh adalah India
telah menyampaikan hak kedaulatannya terhadap wilayah dasar laut (landas
kontinen) di luar 200 mil laut dari garis pangkal kepada PBB. Hal ini tentunya
menuai keberatan dari Bangladesh yang langsung menyampaikan keberatannya kepada
PBB. Myanmar juga telah menyampaikan hal yang sama atas landas kontinen ke PBB
yang juga telah menuai keberatan dari Bangladesh. Bangladesh sendiri pada saat
ini sedang mempersiapkan pengajuannya kepada PBB dengan melakukan survey dasar
laut di Teluk Bengal dengan dana sampai dengan US$ 11,77 juta. Bangladesh
berencana menyampaikan pengajuannya ke PBB pada tahun 2011 yang kemungkinan
juga akan diprotes oleh India dan Myanmar bila sengketa belum terselesaikan.
Keempat, dari sisi
konfigurasi geografis Teluk Bengal, hal ini mengingatkan para praktisi dan
pengamat masalah batas maritime terhadap sengketa batas yang terjadi pada tahun
1969 antara Jerman, Belanda dan Denmark. Kasus ini terkenal disebut sebagai
North Sea Case. Dalam kasus tersebut, para pihak meminta mahkamah untuk
memutuskan apakah prinsip penarikan garis batas melalui metode sama jarak
mutlak harus dilakukan. Jerman yang posisi geografisnya terjepit di antara
Belanda dan Denmark melihat bahwa prinsip tersebut sangat tidak menguntungkan
baginya. Hal ini karena apabila prinsip tersebut diberlakukan, maka wilayah
perairan Jerman akan sangat sempit dan tertutup tanpa akses ke laut bebas oleh
perairan Belanda dan Denmark. Pada keputusannya, maahkamah merestui pendapat
Jerman dan mengatakan bahwa metode sama jarak tidak mutlak dilakukan. Keputusan
ini menjadi tonggak lahirnya prinsip solusi yang adil atau equitable solution di dalam hukum delimitasi batas laut
internasional.
Terlepas bahwa setiap
wilayah maritim memiliki karakteristik yang berbeda, posisi geografis
Bangladesh yang terjepit diantara India dan Myanmar tentunya hampir sama dengan
apa yang dihadapi Jerman pada 1969. Hal ini pula yang memberi gambaran secara
teknis rumitnya perundingan antara Bangladesh dengan India dan Myanmar. Mencari
solusi yang adil tentunya berbeda bagi pihak yang terlibat. Hal ini yang
menjadi tantangan berat bagi Tribunal. Akan sangat menarik melihat bagaimana
Tribunal mengaplikasikan equitable
solution pada kasus ini.
Kelima, Myanmar dan
Bangladesh telah melakukan perundingan bilateral untuk menetapkan batas
diantara mereka selama lebih kurang 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti
bahwa perundingan batas maritim antar negara adakalanya dapat memakan waktu
yang cukup lama dan belum tentu menghasilkan garis batas yang diterima para
pihak. Sangat mungkin satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan untuk mencari
penyelesaian melalui pihak ketiga, termasuk melalui Tribunal atau mahkamah
internasional lainnya.
Yang perlu digaris
bawahi adalah keputusan untuk menyelesaikan sengketa batas maritim melalui
jalur pihak ketiga, seperti apa yang dilakukan Bangladesh dan Myanmar,
seyogyanya tidak dilihat rusaknya
hubungan persahabatan antara para pihak yang bersengketa. Hal ini haruslah
dilihat sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai
sebagaimana yang diamanatkan oleh Piagam PBB demi menjaga perdamaian antara
para pihak secara khusus dan dunia secara umum.
PEREBUTAN
BLOK AMBALAT ANTARA RI-MALAYSIA
Hubungan Republik
Indonesia dengan Malaysia, saat ini berada dalam situasi menghangat,
menyusulnya klaim Malaysia terhadap blok Ambalat di laut Sulawesi. Hal ini
berawal dari penjualan hak eksplorasi blok Ambalat yang kaya minyak oleh
perusahaan minyak Malaysia, Petronas kepada perusahaan minyak Belanda, Shell.
Indonesia merasa yakin kawasan blok Ambalat ini termasuk ke dalam wilayah NKRI,
dan bahkan sebelumnya pemerintah RI sudah menjual hak eksplorasi minyak di
kawasan ini kepada perusahaan minyak Unocal.
Secara diplomatik,
pemerintah RI sudah melayangkan protes resmi kepada pemerintah Malaysia. Namun,
yang agak mengkhawatirkan, kekuatan militer kedua negara sudah mulai terlibat
dalam konflik, meskipun dalam skala kecil. Saat ini ada 7 kapal perang TNI-AL yang
berpatroli di kawasan konflik dengan dukungan beberapa peswat pengintai.
Patroli, sekaligus unjuk kekuatan militer itu dilakukan menyusul adanya peswat
AL Malaysia yang berpatroli di wilayah RI. Dalam perkembangannya sempat terjadi
ketegangan antara kedua belah pihak, pada saat KRI Rencong TNI-AL terlibat
manuver dengan sebuah kapal perang Malaysia.
Akhir-akhir ini
hubungan RI-Malaysia tidak begitu harmonis, karena beberapa masalah yang
melibatkan kedua negara. Sebelum ini, masalah TKI illegal juga sempat
mengganggu hubungan kedua negara, meskipun kemudian dapat diselesaikan secara
baik. Namun, masalah saling klaim di Ambalat akan menjurus ke konflik yang
serius bila tidak segera diselesaikan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, Indonesia juga kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan yang jatuh
ke tangan Malaysia.
Banyak pihak yang
menyarankan pemerintah SBY agar bertindak secara tegas dalam masalah Ambalat
ini, karena hal ini menyangkut kedaulatan NKRI. Latar belakang militer Presiden
SBY membuat beliau tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan militer untuk
mempertahankan wilayah RI. Namun demikian, ada juga pihak yang mengkritik
pemerintah terlalu reaktif bila langsung menggunakan kekuatan militer. Hal ini
dikarenakan, pemerintah belum mengoptimalkan jalur diplomatik untuk menyelesaikan
masalah ini. Masalah ini menjadi serius karena wilayah yang diperbutkan adalah
kawasan kaya minyak. Selain itu, kedaulatan sebuah negara dipertaruhkan dalam
masalah ini.
Pada masa lalu,
RI-Malaysia mempunyai sejarah hubungan yang tidak harmonis. RI di masa Soekarno
menganggap Malaysia sebagai antek imperialisme karena kedekatannya dengan
Inggris. Muncullah saat itu Dwikora, yang salah satu isinya adalah menggayang
Malaysia. Saat itu, sudah terjadi beberapa kali kontak senjata antara militer
kedua negara. Politik Ganyang Malaysia pada tahun 60-an benar-benar dijiwai
generasi pada masa itu, sehingga banyak pemuda bersedia masuk wamil dan dikirim
di belantara Serawak untuk menyerbu Malaysia, meskipun banyak diantara mereka
yang tidak kembali. Kenangan masa lalu itulah yang mengilhami masyarakat
Indonesia sekarang bersikap lebih keras pada Malaysia, ditambah dengan perasaan
terhina karena banyak TKI (illegal) yang tertangkap di negeri jiran tersebut.
Pemerintah RI sendiri menganggap keutuhan NKRI merupakan harga mati. Sehingga
setiap ancaman terhadap kedaulatan negara harus segera diatasi.
Potensi kawasan minyak
mentah di kawasan Ambalat meruoakan penyebab lain kedua negara beusaha
mempertahankan klaimnya. Malaysia mengklaim Ambalat sebagai bagian dari
wilayahnya berdasarkan peta yang mereka susun pada tahun 1979. Padahal peta itu
bermasalah karena negara-negara di kawasan ASEAN yaitu Singapura, Vietnam, Filipina dan
Thailand juga memprotes penggunaan peta tersebut. Indonesia mempertahankan
kawasan Ambalat berdasarkan hukum internasional, yang menyatakan bahwa negara
kepulauan memiliki batas luar wilayah sampai dengan 12 mil laut.
Konflik yang terjadi
antara RI-Malaysia bisa menjadi ganjalan dalam mewujudkan ASEAN yang bersatu. Namun
demikian, konflik ini juga lebih mudah diselesaikan melalui jalur diplomatik
karena adanya wadah ASEAN tersebut. Sangat berisiko untuk membiarkan konflik
ini berlarut-larut karena kedua negara ini mempunyai posisi penting dalam
menjaga kestabilan wilayah Asia Tenggara.
Penyelesaian terbaik
bagi konflik Ambalat ini adalah melalui jalur diplomatik. Sikap reaktif
sejumlah kalangan, termasuk saran dari beberapa
anggota DPR untuk menggunakan kekuatan militer merupakan tindakan yang
terlalu dini. Pemerintah Malaysia masih bersikap kooperatif dalam menyelesaikan
masalah ini melalui perundingan. Penggunaan kekuatan militer hanya akan
menyebabkan kestabilan Asia Tenggara dan juga kestabilan ekonomi-politik RI
menjadi terganggu. Masalah-masalah yang ada di dalam negeri saat ini masih
terlalu banyak dan memerlukan penyelesaian segera. Selain itu secara ekonomi,
kita tidak akan mampu membiayai sebuah perang dengan APBN defisit.
Kedaulatan NKRI adalah
harga mati. Kita sepakat untuk hal ini, namun tidak perlu pemerintah membuang
energi untuk membawa negera ini ke dalam sebuah konflik serius dengan negara
lain. Penyelesaian diplomatik lebih masuk akal. Selain itu kemampuan diplomasi
pemerintah saat ini bisa diandalkan, terbukti dari kesuksesan diplomasi pemerintah
untuk membujuk GAM agar menarik tuntutan merdeka dan menerima otonomi khusus.
Potensi ini harus dimanfaatkan. Semoga konflik RI-Malaysia ini bisa
diselesaikan pemerintah dengan cara yang elegan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar