Kontroversi Prabowo Subianto
Manuver saat Orde Baru
Dengan menggunakan koneksi dengan Presiden Soeharto,
Prabowo dan saudaranya dianggap mencoba membungkam kritik jurnalistik dan
politik pada tahun 1990-an. Hasyim gagal menekan Goenawan
Mohamad agar menjual koran Tempo
kepadanya. Ketika menjabat sebagai letnan kolonel, Prabowo mengudang Abdurrahman
Wahid ke markas batalionnya pada tahun 1992 dan memperingatinya agar
hanya berkecimpung dalam bidang agama dan tidak menyentuh politik, atau ia
harus menghadapi akibatnya bila melanjutkan oposisi terhadap Soeharto. Ia juga
memperingatkan Nurcholish Madjid (Cak Nur) agar mengundurkan
diri dari Komite
Independen Pemantau Pemilu, yaitu badan pengawas pemilu yang
didirikan oleh Goenawan Mohamad.
Konflik dengan LB Moerdani
Prabowo termasuk tokoh kontroversial di Indonesia.
Pada tahun 1983,
Prabowo, menurut Sintong Panjaitan, terlibat perselisihan dengan
beberapa jenderal yang dianggap akan mengkudeta Suharto. Sampai pada akhirnya
pada bulan Maret 1983, di Datasaemen 81, Prabowo diceritakan mencoba melakukan
upaya penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk Jendral LB Moerdani
yang diduga hendak melakukan kudeta terhadap Presiden
Soeharto, namun upaya ini digagalkan oleh Mayor Luhut
Panjaitan, Komandan Den 81/Antiteror. Prabowo sendiri adalah wakil
Luhut saat itu.
Mayor Luhut memerintahkan pembatalan aksi tersebut dan
memerintahkan agar senjata dan alat komunikasi diamankan. Ancaman kudeta
tersebut akhirnya tidak terbukti, dan Prabowo dianggap dalam keadaan stress dan
diberikan cuti.
Namun Prabowo membantah cerita versi Sintong Panjaitan
ini dengan tertawa. Menurutnya, tidak masuk akal seorang kapten bisa memimpin
pasukannya untuk melawan dan menculik jenderal. Ia dengan tenang mengatakan
bahwa tiap kali ada buku baru, pasti ada tuduhan kudeta baru yang dialamatkan
kepada dirinya, dan membiarkan tiap orang dengan versi ceritanya masing-masing.
Pada tahun 1988, Prabowo kembali berhadapan dengan LB
Moerdani. Menurut cerita versi Kivlan Zen, menjelang Sidang Umum MPR/RI pada
tahun 1988, beredar kabar bahwa LB Moerdani akan memanfaatkan posisinya sebagai
Panglima ABRI
untuk mendapat dukungan dari Fraksi ABRI agar bisa maju menjadi Wakil Presiden.
Prabowo Subianto segera melaporkan dugaan ini kepada Suharto. Suharto menerima
masukan ini dan mengganti Panglima ABRI dengan Jendral Try Soetrisno,
sehingga akhirnya jabatan Wakil Presiden jatuh ke tangan Soedharmono.
Penggantian LB Moerdhani memunculkan kekhawatiran
kudeta. Maka menurut Kivlan Zen, Prabowo menyiapkan 1 Batalyon Kopassus, Batalyon Infanteri Linud 328,
Batalyon Infanteri 303, Batalyon Infanteri 321, Batalyon Infanteri 315. Satu batalyon
umumnya berkekuatan 700 personel. Meskipun akhirnya kkhawatiran tersebut tidak
terbukti, namun memperlihatkan besarnya pengaruh Prabowo di ABRI dan terhadap
keputusan seorang Presiden Indonesia pada masa tersebut.
Dugaan pelanggaran HAM di Timor
Timur
Pada tahun 1990-an, Prabowo terkait dengan sejumlah
kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Pada tahun 1995, ia dituduh menggerakkan
pasukan ilegal yang melancarkan aksi teror ke warga sipil di Timor Timur.
Peristiwa ini membuat Prabowo nyaris baku hantam dengan Komandan Korem Timor Timur
saat itu, Kolonel Inf Kiki Syahnakri, di kantor Pangdam IX Udayana,
Mayjen TNI Adang Ruchiatna. Sejumlah lembaga internasional
menuntut agar kasus ini dituntaskan dan agar Prabowo dibawa ke Pengadilan Kriminal Internasional
di Den Haag.
Menurut pakar Adnan Buyung Nasution, kasus ini belum
selesai secara hukum karena belum pernah diadakan pemeriksaan menurut hukum
pidana.
Prabowo juga diduga terlibat dalam peristiwa pembantaian Kraras yang terjadi pada tahun 1983
di Timor Timur. Prabowo sendiri membantah dan menyebutnya sebagai tuduhan tak
berdasar.
Kontroversi selama periode 1997-1998
Penculikan aktivis
Pada tahun 1997, Prabowo diduga kuat mendalangi penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah
aktivis pro-Reformasi. Setidaknya 14 orang, termasuk seniman 'Teater
Rakyat' Widji Thukul,
aktivis Herman Hendrawan, dan Petrus Bima masih hilang
dan belum ditemukan hingga sekarang. Mereka diyakini sudah meninggal. Prabowo
sendiri mengakui memerintahkan Tim Mawar untuk mengeksekusi operasi tersebut
karena menurutnya hal tersebut merupakan hal yang benar menurut rezim saat itu.
Prabowo hanya mengakui menculik 9 orang aktivis pada saat itu, yang semuanya
telah ia kembalikan dalam keadaan hidup. Sementara 13 orang sisanya, ia tidak
tahu-menahu. Pernyataan ini dikuatkan oleh Pius Lustrilanang, yang mengaku
telah dimintai maaf oleh Prabowo dan kini menjadi anggota DPR dari Partai
Gerindra.
Sementara saat mengumumkan pembebastugasan Prabowo, Jenderal TNI
Wiranto
menyatakan bahwa Prabowo dapat diadili karena adanya bukti keterlibatan Prabowo
dalam kasus penculikan aktivis ini. Namun demikian, Prabowo masih belum diadili
atas kasus tersebut hingga sekarang walau anggota Tim Mawar
sudah dijebloskan ke penjara. Sementara itu, Prabowo dan koleganya, Sjafrie
Syamsuddin, tidak pernah memenuhi Panggilan Komnas HAM
yang berusaha untuk mengusut kasus tersebut. Pengakuan mengejutkan datang dari
Kivlan Zen yang pada masa 1998 setia kepada Prabowo. Ia mengaku mengetahui pasti
di mana keberadaan 13 orang aktivis yang dipermasalahkan, dan tahu pasti mereka
telah dibunuh. Kivlan Zen menantang dibukanya kembali kasus penculikan ini dan
dia mengatakan seluruh hal yang diketahuinya. Ia menyatakan operasi penculikan
13 orang tersebut adalah perbutan pihak yang ingin mendiskreditkan Prabowo.
Karena pernyataan ini, Komnas HAM didesak untuk membuka kembali penyelidikan
atas kasus ini, namun Komnas HAM berkomentar bahwa itu hanyalah pernyataan
pribadi Kivlan Zen. Secara resmi pernyataan Kivlan Zen sudah pernah dicatat
dalam penyelidikan Komnas HAM dan kini sudah berada di Kejaksaan Agung
Tuduhan pernyataan pengusiran orang
Cina
Menurut Friend (2003), saat dampak krisis finansial Asia 1997 memburuk,
Prabowo mengajak Muslim
Indonesia untuk bergabung dengannya dalam melawan "pengkhianat
bangsa". Selain itu, dari wawancara Adam Schwarz dengan Sofjan
Wanandi, Prabowo pernah mengatakan pada Sofjan bahwa ia siap
"mengusir semua orang Cina meskipun hal itu akan membuat ekonomi
Indonesia mundur 20-30 tahun" dan mengatakan "kamu Cina Katolik
mencoba menjatuhkan Suharto". Sofjan sendiri membantah pernah berkata
bahwa Prabowo akan mengusir semua orang Tionghoa dari Indonesia, dan menyatakan
bahwa Schwarz hanya salah persepsi.
Dugaan keterlibatan kerusuhan Mei
1998
Prabowo diduga kuat mendalangi kerusuhan Mei 1998 berdasar temuan Tim Gabungan Pencari Fakta. Bahkan menurut
Friend (2003), walaupun kubu Wiranto menekankan bahwa mereka tidak ingin pembantaian Tiananmen terjadi di Jakarta,
kubu Prabowo memperingatkan Amien Rais bahwa militer tidak takut akan
terjadinya "Tiananmen lain" dan "lautan
darah" bila demonstrasi dilanjutkan. Dugaan motif Prabowo adalah untuk
mendiskreditkan rivalnya Pangab Wiranto, untuk menyerang etnis minoritas, dan untuk mendapat
simpati dan wewenang lebih dari Soeharto bila kelak ia mampu memadamkan kerusuhan. Dia juga
masih belum diadili atas kasus tersebut.
Prabowo mengklaim bahwa tuduhan tersebut tidak
berdasar. Prabowo mengaku sadar bahwa menghancurkan Tionghoa di Indonesia dapat
merugikan Indonesia sendiri. Ia juga menyayangkan Menko Polkam Feisal
Tanjung dan Panglima ABRI Wiranto
yang menurutnya konsisten menyangkal tuduhan bahwa perintah membuat kerusuhan
berasal langsung dari mereka atau Soeharto sebagai Panglima Tinggi. Prabowo
meyakini bahwa perintah tersebut tidak dalam satu rangkaian komando karena
atasannya senang bekerja secara melompat-lompat dalam berbagai tingkatan. Ia
memastikan bahwa dirinya tidak pernah memperoleh perintah menyiksa orang.
Pembelaan lebih lanjut dari pihak Prabowo adalah dia
hanya menjalankan tugasnya sebagai Pangkostrad atas permintaan Panglima Kodam
Jaya waktu itu yang mendapat perintah dari Mabes ABRI. Pada waktu itu
permintaan Prabowo agar ia difasilitasi pesawat Hercules juga ditolak, sehingga
ia terpaksa menggunakan Garuda dan Mandala atas biaya sendiri.
Sementara terkait penembakan mahasiswa dalam peristiwa
Trisakti, hasil uji balistik di Belfast, Irlandia Utara, memperlihatkan bahwa
peluru tersebut berasal dari senjata milik Gegana, Polri, bukan tipe senjata
yang digunakan oleh TNI. Penembakan itu juga tidak mungkin dilakukan oleh
sniper karena peluru yang digunakan jenis kaliber 5,56mm, sementara senjata
sniper berkaliber 7mm ke atas. Target penembakan juga acak, berbeda dengan pola
penembakan sniper yang akan memilih pemimpin demonstrasi atau sasaran strategis
tertentu.
Isu kudeta
Pada pagi hari tanggal 22 Mei
1998, Wiranto
melaporkan kepada B.J. Habibie bahwa telah terjadi pergerakan
pasukan Kostrad
menuju Jakarta
dan konsentrasi pasukan di kediaman Presiden B.J. Habibie tanpa sepengetahuan
dirinya sebagai Panglima ABRI. Pergerakan pasukan tersebut
diduga sebagai upaya kudeta dan oleh karena itu atas instruksi Presiden
Habibie, Prabowo diberhentikan sebagai Panglima Kostrad.
Di siang hari pada tanggal yang sama, Prabowo
dihubungi Markas Besar Angkatan Darat perihal pemberhentiannya sebagai Panglima
Kostrad. Prabowo langsung menghadap Presiden B.J.
Habibie di istana untuk mendapat kepastian pemberhentiannya. Presiden B.J.
Habibie mengatakan bahwa pemberhentiannya adalah permintaan langsung
dari Soeharto
dan ia akan ditunjuk sebagai Duta Besar untuk Amerika
Serikat. Sore harinya Prabowo
menyerahkan jabatan Panglima Kostrad kepada Pangdiv I Kostrad Mayjen Johny
Lumintang.
Prabowo yakin ia bisa saja melancarkan kudeta pada
hari-hari kerusuhan pada bulan Mei itu. Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya.
“Keputusan mempercepat pensiun saya adalah sah,” ujarnya. “Saya tahu, banyak di
antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya
tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa
saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya
sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia
kepada republik”.
Setelah Mei 1998, ia terbang ke Amman, Yordania. Ia
mendapat status kewarganegaraan dari Abdullah II.
Pangeran Abdullah II
yang kemudian pada 1999 menjadi Raja Yordania
adalah kawan Prabowo di sekolah militer. Prabowo kembali ke Indonesia pada
November 2001.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Prabowo_Subianto#Kontroversi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar