Selasa, 28 Januari 2014

MAKALAH BANYAKNYA KASUS BUNUH DIRI KARENA MASALAH EKONOMI



BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

            Kehidupan dengan segala aktivitasnya, terutama di kota-kota besar menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap jiwa (psikis) dan rohani (psikologis). Masyarakat di kota-kota besar akan sangat dipengaruhi oleh dinamika kota tersebut. Pengaruh tersebut membawa dampak di dalam setiap strata sosial masyarakat.
            Beban kehidupan kota metropolitan merupakan faktor penekan beban kehidupan seseorang yang pengaruhnya sangat dominan, baik secara ekonomi, sosial, budaya, atau pun keamanan. Tekanan kehidupan yang begitu dominan tersebut akan berimbas kepada tinggi rendahnya stres seseorang, yang pada akhirnya stres yang tinggi disebabkan karena beban kehidupan masyarakat metropolitan yang sangat berat. Hal tersebut juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas masyarakat.
            Tekanan kehidupan masyarakat tersebut bukan saja dari latar belakang status sosial ekonomi masyarakat, tetapi juga dapat ditimbulkan dari aspek lain misalnya dalam hal transportasi tingginya tingkat kemacetan lalu lintas, bencana atau musibah yang sering menimpa warga kota besar, seperti kebakaran dan banjir. Faktor-faktor tersebut juga menjadi pemicu tingginya tingkat stres masyarakat kota besar.
            Jepang juga merupakan salah salah satu negara yang memilki kota-kota metropolitan yang sibuk dan menjadi pusat perekonomian. Masyarakat Jepang juga tidak dapat dilepaskan dengan tekanan-tekanan kehidupan masyarakat yang kadang memberikan dampak yang buruk kepada kehidupan masyarakat itu sendiri.
            Laporan yang dikeluarkan Badan Kepolisian Nasional Jepang pada tahun 2007 menunjukkan 33.093 masyarakat di Jepang mengakhiri hidup mereka sendiri atau sering disebut sebagai bunuh diri. Angka tersebut merupakan angka terbesar kedua dari rekor bunuh diri Jepang setelah tahun 2003 yang mencapai sebesar 34.427 orang.[1] Hingga sepanjang tahun 2009, angka bunuh diri di Jepang juga masih di berada pada angka 32.753 orang. Angka ini membuktikan hubungan terbalik antara kesuksesan Jepang yang telah diakui sebagai negara maju dengan ketenangan psikologis masyarakatnya.
            Tingkat stres yang paling tinggi yang dirasakan masyarakat di Jepang tersebut memicu keinginan mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri. Melalui penulisan makalah ini, penulis ingin menggali lebih dalam tentang penyebab atau alasan masyarakat negara maju seperti Jepang dapat melakukan tindakan bunuh diri.

1.2. Rumusan Masalah

            Adapun rumusan masalah dalam masalah ini yaitu sebagai berikut.
  1. Apakah penyebab tingginya angka bunuh diri di Jepang?
  2. Apakah tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri yang tinggi di Jepang?

1.3. Tujuan Penulisan

            Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
  1. Mengetahui penyebab tingginya angka bunuh diri di Jepang.
  2. Mengetahui tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri yang tinggi di Jepang.

1.4. Metode Penulisan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Teori Pengelolaan Stres

            Terdapat beberapa definisi mengenai stres. Definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut:
·         Stephen P. Robbins mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.[2]
·         Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan stres menjadi ada 2 definisi yaitu: (1) Gangguan atau kekacauan mental dan emosional. (2) Tekanan.[3]
·         Handoko mengemukakan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.[4]
           
            Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stressors. Menurut Robbins ada tiga faktor utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu:[5]
1.      Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2.      Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demand
, interpersonal demands, dan organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan
komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyeba bkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang
pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001:563)
.
3.      Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya.
Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
  Stres yang dirasakan seseorang dapat terdiri dari atas stres yang berat maupun stres yang ringan. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres. Terdapat dua pendekatan dalam mengelola stress yaitu sebagai berikut.[6]

1. Pendekatan Individual
Seseorang dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, maupun keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2. Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.

2.2. Penyebab Tingginya Kasus Bunuh Diri di Jepang

            Jumlah kasus bunuh diri meningkat secara drastis di Jepang setelah gejolak ekonomi tahun 1980.[7] Pada saat itu, krisis ekonomi mengakibatkan sebagian besar warga Jepang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat Jepang dilanda stres berkepanjangan akibat masalah keuangan mereka. Stres dan depresi tersebut akhirnya diakhiri dengan cara bunuh diri.
            Kasus bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu. Fenomena bunuh diri di Jepang (Seppuku) erat kaitannya dengan budaya malu orang Jepang. Seppuku adalah bagian dari sikap kesatriaan (Bushido) seperti halnya chivalry dalam budaya lama orang Eropa.[8] Masyarakat Jepang bukanlah masyarakat yang mempunyai toleransi sangat tinggi dalam menerima kekhilafan dan kesalahan orang lain. Sebaliknya, masyarakat Jepang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat tegas dan tuntutan konformitas yang cukup tinggi. Masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi kesempurnaan dan hal itu telah menngakar dalam kehidupan bermasyarakatnya. Mereka akan sangat malu jika dianggap tidak siap dan prima dalam melakukan pekerjaan. Tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik itulah yang menyebabkan tingginya tingkat stres di kalangan masyarakat Jepang.
            Penyebab lain yang mengakibatkan masyarakat Jepang memilih melakukan bunuh diri yaitu tingginya kegelisahan masyarakat Jepang mengenai kehidupan mereka di masa yang akan datang. Kegelisahan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Jepang, terutama yang berjenis kelamin laki-laki, terus bekerja agar mendapatkan uang sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kesehatan mereka. Orang-orang seperti ini sering disebut sebagai salary man. Kata salary man sendiri diambil dari bahasa Inggris, yaitu salary (gaji) dan man (orang), jadi salary man artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung dengan gaji. [9]
            Di Jepang, salary man yang bekerja terlalu keras sering disebut sebagai karoshi. Secara bahasa, karoshi dapat diartikan sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan.[10] Kematian bisa dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di tempat kerja. Kasus karoshi yang terkenal adalah kasus kematian Kenichi Uchino pada tahun 2002, seorang manager quality-control berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan otomotif terbesar di dunia, Toyota. Pada saat itu, Kenichi dikabarkan bekerja lembur selama 80 jam setiap bulan selama 6 bulan lamanya tanpa diberikan uang lembur atau bonus tambahan. Dia akhirnya jatuh pingsan di tempat kerjanya dan dilarikan ke rumah sakit. Pada akhirnya Kenichi meninggal dunia.[11]
            Jika masyarakat Jepang yang berada dalam usia produktif kerja melakukan bunuh diri karena penyebab-penyebab yang berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi ekonomi, maka berbeda halnya dengan masyarakat Jepang berusia diatas 70 tahun. Mayoritas di antara mereka melakukan tindakan bunuh diri karena telah frustasi dengan penyakit yang telah lama diidap. Rasa frustasi tersebut memicu keinginan untuk segera mengakhiri hidup. Sedangkan untuk masyarakat Jepang yang berusia remaja atau di bawah 20 tahun mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh diri dikarenakan alasan-alasan yang naif, seperti karena masalah dengan orang tua atau rasa takut yang dalam atas perlakuan yang diberikan oleh senior mereka di sekolah. Selain ada sebuah kasus bunuh diri yang dilakukan remaja karena dia merasa terlalu sedih atas meninggalnya artis yang ia idolakan.[12]
            Penyebab-penyebab bunuh diri yang telah dijelaskan di atas dapat memperlihatkan bahwa faktor penyebab stres yang dirasakan masyarakat Jepang merupakan gabungan dari faktor lingkungan, organisasi, dan individu itu sendiri. Faktor penyebab stres tersebut bergabung dan menciptakan suatu permasalahan baru yang cukup rumit yang dihadapi oleh masyarakat Jepang itu sendiri. Tidak jarang apabila seseorang merasakan tekanan jiwa yang secara terus menerus datang tidak hanya dari masalah pribadi, namun juga muncul dari organisasi dan lingkungan di sekitarnya. Rasa stres dari faktor yang kompleks ini menjadi penyebab mereka melakukan tindakan yang bertentangan dengan akal sehat.

2.3. Tindakan Pemerintah Jepang dalam Menangani Kasus Bunuh Diri di Jepang

            Kasus bunuh diri dan depresi yang dihadapi oleh masyarakat Jepang mengakibatkan kondisi ekonomi Jepang tahun 2007 menurun hampir 2,7 triliun yen atau sekitar Rp288,4 triliun. Penurunan ini merujuk pada hilangnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya biaya perawatan atas depresi yang dialami. Menurut studi pemerintah, masyarakat yang bunuh diri umumnya berusia antara 15 tahun hingga 69 tahun. Mereka sebenarnya masih dalam kelompok usia produktif dan bisa mendatangkan pendapatan sekitar 1,9 triliun yen hingga mereka mencapai usia pensiun.[13] Selain itu, Pemerintah Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara Jepang menghabiskan hampir US$32 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun sepanjang tahun 2007 hingga saat ini untuk membuat solusi-solusi guna menekan angka bunuh diri di Jepang.[14]
            Pemerintah Jepang juga melihat beberapa modus yang dilakukan masyarakat Jepang dalam melakukan tindakan bunuh diri. Melalui modus tersebut, pemerintah membuat tindakan-tindakn preventif. Modus bunuh diri di Jepang juga bermacam-macam. Bunuh diri dengan menusukkan sejenis pedang ke perut atau sering disebut harakiri sering dilakukan oleh orang Jepang pada zaman dulu, namun pada saat ini harakiri sudah jarang dilakukan di Jepang. Pada saat ini, di Jepang modus bunuh diri yang sering dilakukan adalah terjun dari gedung tinggi, menabrakkan diri ke kereta yang berjalan, menembak diri, dan meminum sejenis racun. Melihat modus tersebut, pemerintah Jepang melakukan tindakan nyata dengan memasang di detektor pencegah bunuh diri di tempat-tempat yang sering digunakan untuk bunuh diri seperti stasiun kereta dan gedung-gedung tinggi.[15] Detektor pencegah bunuh diri ini akan berbunyi apabila ada orang yang mencurigakan dan langsung terhubung ke petugas penyelamat khusus.
            Pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para salary man. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para salary man, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena karoshi.[16] Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.[17]
            Pada tahun 2010, Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti Bunuh Diri, sebagai upaya untuk menekan tingginya jumlah kasus bunuh diri di Jepang. Kampanye yang dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya. Selain itu, pemerintah juga menanyangkan video klip dari seorang pemain sepakbola Liga Jepang untuk mengangkat kesadaran akan masalah bunuh diri dan depresi dalam situs internet.[18]
            Segara upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang guna menengani masalah bunuh diri ini merupakan bentuk pengelolaan stres secara organisasional. Pemerintah selaku pengambil keputusan melakukan wewenangnya dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan masalah ini. Saluran telpon yang disediakan pemerintah guna menangani keluh kesah salary man merupakan suatu bentuk pengelolaan organisasional dengan cara membangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, bantuan pemerintah Jepang bentuk asuransi dan dana yang disediakan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang merupakan bentuk dari program kesejahteraan yang dapat diketegorikan sebagai tindakan pengelolaan stres organisasional.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

            Penyebab utama tingginya kasus bunuh diri di Jepang dikarenakan mayoritas masyarakat Jepang yang berusia produktif memiliki kegelisahan yang tinggi terhadap pengharapan kondisi ekonomi di masa yang akan datang sehingga mereka bekerja terlalu keras sampai tidak mempedulikan kesehatan. Penyebab yang lainnya adalah karena masalah keluarga, keputusasaan akan penyakit yang menahun, ketakutan akan kekerasan yang dialami di sekolah, dan kekecewaan atas meninggalnya orang lain.
            Ada banyak cara yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri di Jepang. Tindakan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai tindakan pengelolaan stres secara organisasional seperti melakukan kampanye Anti Bunuh Diri, menyiapkan saluran telpon dalam menghadapi keluh kesah pegawai, membagikan buku untuk mengurangi stres, dan memberikan dana kesejahteraan bagi masyarakat yang membutuhkan.

3.2. Saran

            Saran yang ditawarkan penulis kepada kasus bunuh diri di Jepang ini adalah perlu adanya penanaman nilai dan arti hidup yang kuat kepada masyarakat jepang. Penanaman nilai tersebut harus diawali dari lingkungan keluarga dan harus dilakukan semenjak kecil sehingga seseorang mengerti bahwa tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang tidak benar. Selain itu, perlu adanya peran dari psikolog untuk mengurangi tingkat stres dan depresi yang dirasakan oleh masyarakat Jepang.

Daftar Pustaka

-        Judge dan Robbins. Perilaku Organisasi Buku 2. 2008. Salemba Empat: Jakarta.
-        http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/17/seri-belajar-dari-jepang-i-budaya-malu-dan-service-oriented-society/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.00 WIB
-        http://www.borneo.web.id/manajemen-stress-pengertian-stress-dan-stressor.html diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB.
-        http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/stress-kerja-definisi-dan-faktor.html diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.25 WIB.
-        http://dunia.vivanews.com/news/read/176694-bunuh-diri-marak--jepang-rugi-rp288-4-triliun diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.10 WIB
-        http://www.poskota.co.id/tag/depresi diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB
-        http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB
-        http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
-        http://www.nusantara-news.com/2010/03/pemerintah-jepang-luncurkan-kampanye-anti-bunuh-diri.html diunduh Senin, 6 Desember 2010, pukul 14.50 WIB


[1] http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/ diunduh pada Senin, 6 Desember 2010, pukul 12.15 WIB
[2] Judge dan Robbins. Perilaku Organisasi Buku 2. 2008. Salemba Empat: Jakarta.
[3] http://www.borneo.web.id/manajemen-stress-pengertian-stress-dan-stressor.html diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB.
[4] http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/stress-kerja-definisi-dan-faktor.html diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.25 WIB.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
[8]http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/17/seri-belajar-dari-jepang-i-budaya-malu-dan-service-oriented-society/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.00WIB
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB
[14] http://www.poskota.co.id/tag/depresi diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB
[15] http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/ diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar