BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan
dengan segala aktivitasnya, terutama di kota-kota besar menimbulkan berbagai
dampak negatif terhadap jiwa (psikis) dan rohani (psikologis). Masyarakat di
kota-kota besar akan sangat dipengaruhi oleh dinamika kota tersebut. Pengaruh
tersebut membawa dampak di dalam setiap strata sosial masyarakat.
Beban
kehidupan kota metropolitan merupakan faktor penekan beban kehidupan seseorang
yang pengaruhnya sangat dominan, baik secara ekonomi, sosial, budaya, atau pun
keamanan. Tekanan kehidupan yang begitu dominan tersebut akan berimbas kepada
tinggi rendahnya stres seseorang, yang pada akhirnya stres yang tinggi
disebabkan karena beban kehidupan masyarakat metropolitan yang sangat berat.
Hal tersebut juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas masyarakat.
Tekanan
kehidupan masyarakat tersebut bukan saja dari latar belakang status sosial
ekonomi masyarakat, tetapi juga dapat ditimbulkan dari aspek lain misalnya
dalam hal transportasi tingginya tingkat kemacetan lalu lintas, bencana atau
musibah yang sering menimpa warga kota besar, seperti kebakaran dan banjir.
Faktor-faktor tersebut juga menjadi pemicu tingginya tingkat stres masyarakat
kota besar.
Jepang
juga merupakan salah salah satu negara yang memilki kota-kota metropolitan yang
sibuk dan menjadi pusat perekonomian. Masyarakat Jepang juga tidak dapat
dilepaskan dengan tekanan-tekanan kehidupan masyarakat yang kadang memberikan
dampak yang buruk kepada kehidupan masyarakat itu sendiri.
Laporan yang dikeluarkan
Badan Kepolisian Nasional Jepang pada tahun 2007 menunjukkan 33.093 masyarakat
di Jepang mengakhiri hidup mereka sendiri atau sering disebut sebagai bunuh
diri. Angka tersebut merupakan angka terbesar kedua dari rekor bunuh diri
Jepang setelah tahun 2003 yang mencapai sebesar 34.427 orang.[1] Hingga
sepanjang tahun 2009, angka bunuh diri di Jepang juga masih di berada pada
angka 32.753 orang. Angka ini membuktikan hubungan
terbalik antara kesuksesan Jepang yang telah diakui sebagai negara maju dengan
ketenangan psikologis masyarakatnya.
Tingkat stres yang
paling tinggi yang dirasakan masyarakat di Jepang tersebut memicu keinginan
mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri. Melalui penulisan makalah ini,
penulis ingin menggali lebih dalam tentang penyebab atau alasan masyarakat
negara maju seperti Jepang dapat melakukan tindakan bunuh diri.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam masalah
ini yaitu sebagai berikut.
- Apakah penyebab tingginya angka bunuh diri di Jepang?
- Apakah tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri yang tinggi di Jepang?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
- Mengetahui penyebab tingginya angka bunuh diri di Jepang.
- Mengetahui tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri yang tinggi di Jepang.
1.4. Metode Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Teori Pengelolaan Stres
Terdapat beberapa
definisi mengenai stres. Definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut:
·
Stephen P. Robbins mendefinisikan stres sebagai
suatu kondisi dinamis dimana seorang individu dihadapkan pada peluang,
tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh
individu itu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.[2]
·
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan stres menjadi ada 2 definisi yaitu:
(1) Gangguan atau kekacauan mental dan emosional. (2) Tekanan.[3]
·
Handoko
mengemukakan bahwa stres
adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan
kondisi seseorang.[4]
Kondisi-kondisi
yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors.
Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stressors. Menurut Robbins ada tiga
faktor utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu:[5]
1.
Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2. Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demand, interpersonal demands, dan organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyeba bkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001:563).
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demand, interpersonal demands, dan organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyeba bkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001:563).
3.
Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya.
Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya.
Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
Stres yang dirasakan
seseorang dapat terdiri dari atas stres yang berat maupun stres yang ringan. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres.
Terdapat dua pendekatan dalam mengelola stress yaitu sebagai berikut.[6]
1. Pendekatan Individual
Seseorang dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, maupun keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
Seseorang dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, maupun keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2. Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.
2.2. Penyebab Tingginya Kasus Bunuh Diri di Jepang
Jumlah kasus
bunuh diri meningkat secara drastis di Jepang setelah gejolak ekonomi tahun
1980.[7] Pada saat itu, krisis ekonomi mengakibatkan
sebagian besar warga Jepang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang. Hal
tersebut mengakibatkan masyarakat Jepang dilanda stres berkepanjangan akibat
masalah keuangan mereka. Stres dan depresi tersebut akhirnya diakhiri dengan
cara bunuh diri.
Kasus
bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena
tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan
oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu. Fenomena bunuh
diri di Jepang (Seppuku) erat kaitannya dengan budaya malu orang Jepang.
Seppuku adalah bagian dari sikap kesatriaan (Bushido) seperti
halnya chivalry dalam budaya lama orang Eropa.[8] Masyarakat Jepang bukanlah masyarakat yang mempunyai toleransi sangat
tinggi dalam menerima kekhilafan dan kesalahan orang lain. Sebaliknya,
masyarakat Jepang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat tegas dan tuntutan
konformitas yang cukup tinggi. Masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi
kesempurnaan dan hal itu telah menngakar dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Mereka akan sangat malu jika dianggap tidak siap dan prima dalam melakukan pekerjaan. Tuntutan untuk selalu
menjadi yang terbaik itulah yang menyebabkan tingginya tingkat stres di
kalangan masyarakat Jepang.
Penyebab
lain yang mengakibatkan masyarakat Jepang memilih melakukan bunuh diri yaitu
tingginya kegelisahan masyarakat Jepang mengenai kehidupan mereka di masa yang
akan datang. Kegelisahan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Jepang,
terutama yang berjenis kelamin laki-laki, terus bekerja agar mendapatkan uang
sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kesehatan mereka. Orang-orang seperti ini
sering disebut sebagai salary man. Kata salary man sendiri diambil dari bahasa
Inggris, yaitu salary (gaji) dan man (orang), jadi salary man artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung
dengan gaji. [9]
Di Jepang, salary man yang
bekerja terlalu keras sering disebut sebagai karoshi. Secara bahasa, karoshi dapat diartikan
sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan.[10] Kematian bisa
dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti
dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di
tempat kerja. Kasus karoshi yang
terkenal adalah kasus kematian Kenichi Uchino pada tahun 2002, seorang manager
quality-control berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan otomotif terbesar
di dunia, Toyota. Pada saat itu, Kenichi dikabarkan bekerja lembur selama 80
jam setiap bulan selama 6 bulan lamanya tanpa diberikan uang lembur atau bonus
tambahan. Dia akhirnya jatuh pingsan di tempat kerjanya dan dilarikan ke rumah
sakit. Pada akhirnya Kenichi meninggal dunia.[11]
Jika masyarakat Jepang yang berada
dalam usia produktif kerja melakukan bunuh diri karena penyebab-penyebab yang
berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi ekonomi, maka berbeda halnya dengan
masyarakat Jepang berusia diatas 70 tahun. Mayoritas di antara mereka melakukan
tindakan bunuh diri karena telah frustasi dengan penyakit yang telah lama
diidap. Rasa frustasi tersebut memicu keinginan untuk segera mengakhiri hidup. Sedangkan
untuk masyarakat Jepang yang berusia remaja atau di bawah 20 tahun mengakhiri
hidup mereka dengan cara bunuh diri dikarenakan alasan-alasan yang naif,
seperti karena masalah dengan orang tua atau rasa takut yang dalam atas
perlakuan yang diberikan oleh senior mereka di sekolah. Selain ada sebuah kasus
bunuh diri yang dilakukan remaja karena dia merasa terlalu sedih atas
meninggalnya artis yang ia idolakan.[12]
Penyebab-penyebab bunuh diri yang
telah dijelaskan di atas dapat memperlihatkan bahwa faktor penyebab stres yang
dirasakan masyarakat Jepang merupakan gabungan dari faktor lingkungan,
organisasi, dan individu itu sendiri. Faktor penyebab stres tersebut bergabung
dan menciptakan suatu permasalahan baru yang cukup rumit yang dihadapi oleh
masyarakat Jepang itu sendiri. Tidak jarang apabila seseorang merasakan tekanan
jiwa yang secara terus menerus datang tidak hanya dari masalah pribadi, namun
juga muncul dari organisasi dan lingkungan di sekitarnya. Rasa stres dari
faktor yang kompleks ini menjadi penyebab mereka melakukan tindakan yang
bertentangan dengan akal sehat.
2.3. Tindakan Pemerintah Jepang dalam Menangani Kasus Bunuh Diri di Jepang
Kasus bunuh diri dan depresi yang dihadapi oleh
masyarakat Jepang mengakibatkan kondisi ekonomi Jepang tahun 2007 menurun
hampir 2,7 triliun yen atau sekitar Rp288,4 triliun. Penurunan ini merujuk pada
hilangnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya biaya perawatan atas depresi
yang dialami. Menurut studi pemerintah, masyarakat yang bunuh diri umumnya
berusia antara 15 tahun hingga 69 tahun. Mereka sebenarnya masih dalam kelompok
usia produktif dan bisa mendatangkan pendapatan sekitar 1,9 triliun yen hingga
mereka mencapai usia pensiun.[13] Selain itu, Pemerintah
Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara Jepang menghabiskan
hampir US$32 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun sepanjang tahun 2007 hingga saat ini untuk
membuat solusi-solusi guna menekan angka bunuh diri di Jepang.[14]
Pemerintah Jepang juga melihat beberapa modus yang
dilakukan masyarakat Jepang dalam melakukan tindakan bunuh diri. Melalui modus
tersebut, pemerintah membuat tindakan-tindakn preventif. Modus bunuh diri di Jepang juga bermacam-macam. Bunuh diri
dengan menusukkan sejenis pedang ke perut atau sering disebut harakiri sering dilakukan oleh orang
Jepang pada zaman dulu, namun pada saat ini harakiri
sudah jarang dilakukan di Jepang. Pada saat ini, di Jepang modus bunuh diri yang
sering dilakukan adalah terjun dari gedung tinggi, menabrakkan diri ke kereta
yang berjalan, menembak diri, dan meminum sejenis racun. Melihat modus
tersebut, pemerintah Jepang melakukan tindakan nyata dengan memasang di
detektor pencegah bunuh diri di tempat-tempat yang sering digunakan untuk bunuh
diri seperti stasiun kereta dan gedung-gedung tinggi.[15] Detektor pencegah bunuh diri ini akan berbunyi apabila ada
orang yang mencurigakan dan langsung terhubung ke petugas penyelamat khusus.
Pemerintah
Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para salary man. Pemerintah melakukan
tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima
keluh-kesah para salary man, buku
petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang
terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang
memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang
ditinggal mati karena karoshi.[16] Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah
penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi
bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan
atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki
pendapatan tetap.[17]
Pada tahun
2010, Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti Bunuh Diri, sebagai upaya
untuk menekan tingginya jumlah kasus bunuh diri di Jepang. Kampanye yang
dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame
untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang
tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya. Selain itu, pemerintah
juga menanyangkan video klip dari seorang pemain sepakbola Liga Jepang untuk
mengangkat kesadaran akan masalah bunuh diri dan depresi dalam situs internet.[18]
Segara
upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang guna menengani masalah bunuh diri
ini merupakan bentuk pengelolaan stres secara organisasional. Pemerintah selaku
pengambil keputusan melakukan wewenangnya dalam pembuatan kebijakan yang
berhubungan dengan masalah ini. Saluran telpon yang disediakan pemerintah guna
menangani keluh kesah salary man
merupakan suatu bentuk pengelolaan organisasional dengan cara membangun
komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, bantuan
pemerintah Jepang bentuk asuransi dan dana yang disediakan untuk mereka yang
kehilangan pekerjaan dan terlilit utang merupakan bentuk dari program
kesejahteraan yang dapat diketegorikan sebagai tindakan pengelolaan stres
organisasional.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penyebab utama tingginya kasus bunuh
diri di Jepang dikarenakan mayoritas masyarakat Jepang yang berusia produktif
memiliki kegelisahan yang tinggi terhadap pengharapan kondisi ekonomi di masa
yang akan datang sehingga mereka bekerja terlalu keras sampai tidak
mempedulikan kesehatan. Penyebab yang lainnya adalah karena masalah keluarga,
keputusasaan akan penyakit yang menahun, ketakutan akan kekerasan yang dialami
di sekolah, dan kekecewaan atas meninggalnya orang lain.
Ada banyak cara yang dilakukan
pemerintah Jepang dalam menangani kasus bunuh diri di Jepang. Tindakan yang
dilakukan dapat dikategorikan sebagai tindakan pengelolaan stres secara
organisasional seperti melakukan kampanye Anti Bunuh Diri, menyiapkan saluran
telpon dalam menghadapi keluh kesah pegawai, membagikan buku untuk mengurangi
stres, dan memberikan dana kesejahteraan bagi masyarakat yang membutuhkan.
3.2. Saran
Saran yang ditawarkan penulis kepada
kasus bunuh diri di Jepang ini adalah perlu adanya penanaman nilai dan arti
hidup yang kuat kepada masyarakat jepang. Penanaman nilai tersebut harus
diawali dari lingkungan keluarga dan harus dilakukan semenjak kecil sehingga
seseorang mengerti bahwa tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang tidak
benar. Selain itu, perlu adanya peran dari psikolog untuk mengurangi tingkat
stres dan depresi yang dirasakan oleh masyarakat Jepang.
Daftar Pustaka
-
Judge dan Robbins. Perilaku Organisasi Buku 2. 2008.
Salemba Empat: Jakarta.
-
http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/17/seri-belajar-dari-jepang-i-budaya-malu-dan-service-oriented-society/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.00 WIB
-
http://www.borneo.web.id/manajemen-stress-pengertian-stress-dan-stressor.html
diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB.
-
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/stress-kerja-definisi-dan-faktor.html
diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.25 WIB.
-
http://dunia.vivanews.com/news/read/176694-bunuh-diri-marak--jepang-rugi-rp288-4-triliun
diunduh Senin, 6 Desember
2010 pukul 14.10 WIB
-
http://www.poskota.co.id/tag/depresi
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB
-
http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB
-
http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
-
http://www.nusantara-news.com/2010/03/pemerintah-jepang-luncurkan-kampanye-anti-bunuh-diri.html
diunduh Senin, 6 Desember 2010, pukul 14.50 WIB
[1] http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/ diunduh pada Senin, 6
Desember 2010, pukul 12.15 WIB
[3] http://www.borneo.web.id/manajemen-stress-pengertian-stress-dan-stressor.html
diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.20 WIB.
[4] http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/stress-kerja-definisi-dan-faktor.html
diunduh pada Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.25 WIB.
[7]
http://www.japanesia.org/j-life-style/lebih-33-000-orang-bunuh-diri-di-jepang/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.45 WIB
[8]http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/17/seri-belajar-dari-jepang-i-budaya-malu-dan-service-oriented-society/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 13.00WIB
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB
[13] http://dunia.vivanews.com/news/read/176694-bunuh-diri-marak--jepang-rugi-rp288-4-triliun
diunduh
Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.10 WIB
[15] http://zulliesikawati.wordpress.com/2008/11/page/2/
diunduh Senin, 6 Desember 2010 pukul 14.23 WIB
[16]http://sosbud.kompasiana.com/2010/04/17/seri-belajar-dari-jepang-i-budaya-malu-dan-service-oriented-society/
diunduh pada Senin, 6 Desember 2010, pukul 13.00 WIB
[17] http://www.nusantara-news.com/2010/03/pemerintah-jepang-luncurkan-kampanye-anti-bunuh-diri.html
diunduh Senin, 6 Desember 2010, pukul 14.50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar