BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika jaman berubah dengan cepat, salah satu
kelompok yang rentan untuk ikut terbawa arus adalah para remaja. Hal ini
terjadi tidak lain karena mereka memiliki karakteristik tersendiri yang unik:
labil, sedang pada taraf mencari identitas, mengalami masa transisi dari remaja
menuju status dewasa, dan sebagainya.
Di berbagai kota besar, sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa ulah remaja belakangan ini makin mengerikan dan mencemaskan
masyarakat. Mereka tidak lagi sekadar terlibat dalam aktivitas nakal seperti
membolos sekolah, merokok, minum-minuman keras, atau mengganggu lawan jenisnya,
tetapi tak jarang mereka terlibat dalam aksi tawuran layaknya preman atau
terlibat dalam penggunaan narkoba, terjerumus dalam kehidupan seksual pranikah,
dan berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya. Di suatu kota, misalnya
sebagian besar SMU dilaporkan pernah mengeluarkan siswanya lantaran tertangkap
basah menyimpan dan menikmati benda haram tersebut. Sementara itu, di sejumlah
kos-kosan, tak jarang ditemukan kasus beberapa ABG menggelar pesta putau atau
narkotika hingga ada salah satu korban tewas akibat over dosis.
Secara sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan
terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri, mereka
mudah sekali terombang-ambing, dan masih merasa sulit menentukan tokoh
panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat di
sekitarnya. Karena kondisi kejiwaan yang labil, remaja mudah terpengaruh dan
terbawa arus sesuai dengan keadaan lingkungannya. Mereka cenderung mengambil
jalan pintas dan tidak mau pusing-pusing memikirkan dampak negatifnya. Di
berbagai komunitas dan kota besar, jangan heran jika hura-hura, seks bebas,
menghisap ganja dan zat adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para remaja.
Siapakah yang harus dipersalahkan tatkala kita menjumpai remaja yang terperosok
pada perilaku yang menyimpang dan melanggar hukum atau paling tidak melanggar
tata tertib yang berlaku di masyarakat? Dalam hal ini, kita tidak harus saling
menyalahkan, jalan yang akan ditempuh adalah memperbaiki cara dan sistem dalam
mendidik anak dan remaja.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut.
a.
Tujuan
Khusus
1)
Menjabarkankan
hal-hal yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang
2)
Menjelaskan
teori-teori penyimpangan remaja yang dijelaskan oleh ahli.
3)
Mengetahui
wujud dan jenis perilaku menyimpang (kenakalan) yang dilakukan remaja.
4)
Menjelaskan
beberapa usaha yang dilakukan dalam menanggulangi terjadinya perilaku
menyimpang pada remaja.
b.
Tujuan
Umum
Tujuan
umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia.
1.3 Ruang Lingkup
Masalah
Ruang Lingkup masalah dibuat dengan tujuan membatasi
masalah-masalah yang di bahas dalam makalah ini. Sehingga tidak terjadi
pemabahasan masalah yang tidak berhubungan dengan masalah yang dibahas. Adapun
Ruang lingkup masalah dalam makalah ini adalah :
a.
Pengertian perilaku menyimpang.
b.
Teori-teori
ahli terhadap perilaku menyimpang remaja.
c.
Ciri-ciri perilaku menyimpang.
d.
Faktor
penyebab terjadinya perilaku menyimpang pada remaja.
e.
Jenis-jenis perilaku menyimpang pada
remaja.
f.
Dampak perilaku menyimpang remaja.
g.
Usaha
yang dilakukan dalam menanggulangi perilaku menyimpang pada remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perilaku Menyimpang
Suatu
perilaku dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat mengakibatkan
kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain. Perilaku menyimpang cenderung
mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai,
dan bahkan hukum.
Menurut
Andi Mappiere, perilaku menyimpang disebut juga dengan Tingkah Laku Bermasalah.
Tingkah laku bermasalah masih dianggap wajar jika hal ini terjadi pada remaja. Maksudnya,
tingkah lau ini masih terjadi dalam batas ciri-ciri pertumbuhan dan
perkembangan sebagai akibat adanya perubahan secara fisik dan psikis. Lebih
luas lagi, para ahli berusaha mendefinisikan pengertian perilaku menyimpang.
Menurut Ronald A. Hordert, perilaku menyimpang adalah setiap tindakan yang
melanggar keinginan-keinginan bersama sehingga dianggap menodai kepribadian
kelompok yang akhirnya si pelaku dikenai sanksi. Keinginan bersama yang
dimaksud adalah sistem nilai dan norma yang berlaku. Sedangkan Robert M. Z.
Lawang beranggapan bahwa perilaku menyimpang merupakan semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari mereka yang berwenang dalam sistem itn untuk memperbaiki perilaku
menyimpang. Selain dua tokoh itu, James W. Van Der Zanden juga berusaha
mendefinisikan konsep tersebut. Menurutnya, perilaku menyimpang merupakan
perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal tercela dan di
luar batas toleransi.
2.2 Teori
dan Pandangan Terhadap Kehidupan Remaja
2.2.1
Teori "Differential Association"
Teori ini dikembangkan oleh E. Suthedand yang
didasarkan pada arti penting proses belajar. Menurut Sutherland perilaku
menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat
dipelajari. Asumsi yang melandasinya adalah “a criminal act occurs when situation apropriate for it, as defined by
the person, is present” (Rose Gialombardo; 1972). Selanjutnya menurut
Sutherland perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proposisi guna
mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku.
Proposisi tersebut antara lain: Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara
negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Jika ada salah
satu anggota keluarga yang berposisi sebagai pemakai maka hal tersebut lebih
mungkin disebabkan karena proses belajar dari obyek model dan bukan hasil
genetik. Kedua, perilaku menyimpang
yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain dan
proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku
biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Dalam
keadaan ini biasanya mereka cenderung untuk kelompok di mana ia diterima
sepenuhnya dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal ini mempelajari
norma-norma dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah kelompok negatif
niscaya ia harus mengikuti norma yang ada. Keempat,
apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari
meliputi: teknik melakukannya, motif atau dorangan serta alasan pembenar
termasuk sikap. Kelima, arah dan
motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Dalam
suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara
bersamaan memandang hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi.
Tetapi kadang sebaliknya, seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang memandang
bahwa hukum sebagai sesuatu yang memberikan paluang dilakukannya perilaku
menyimpang. Keenam, seseorang
menjadi delinkuen karena ekses dari pola pikir yang lebih memandang aturan
hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukum
sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential association bervariasi dalam hal frekuensi,
jangka waktu, prioritas dan intensitasnya. Delapan,
proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukan remaja menyangkut seluruh
mekanisme yang lazim terjadi dalam proses belajar. Terdapat stimulus-stimulus
seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan
sebagainya merupakan sejumlah eleman yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku menyimpang yang
dilakukan remaja merupakan pernyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai
yang umum.
2.2.2
Teori Anomie
Teori ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan
berorientasi pada kelas. Konsep anomi sendiri diperkenalkan oleh seorang
sosiolog Perancis yaitu Emile Durkheim (1893), yang mendefinisikan sebagai
keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam masyarakat. Keadaan deregulation
atau normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Oleh Merton
konsep ini selanjutnya diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan antara
kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok. Adanya
perbedaan kelas sosial menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan sarana yang
dipilih. Kelompok masyarakat kelas bawah (lower class) misalnya memiliki
kesempatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas atas.
Keadaan tersebut terjadi karena tidak meratanya kesempatan dan sarana serta
perbedaan struktur kesempatan. Akibatnya menimbulkan frustrasi di kalangan
anggota masyarakat. Dengan demikian ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi,
dan penyimpangan perilaku muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya
kesempatan untuk mencapai tujuan.
Berkaitan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan
remaja, dapat dikemukakan bahwa teori ini lebih memfokuskan pada kesalahan atau
'penyakit' dalam struktur sosial sebagai penyebab terjadinya kasus perilaku
menyimpang remaja. Teori ini juga menjelaskan adanya tekanan-tekanan yang
terjadi dalam masyarakat sehingga menyebabkan munculnya perilaku menyimpang
(deviance).
2.2.3
Teori Kenakalan Remaja oleh Albert K. Cohen
Fokus perhatian teori ini terarah pada suatu
pemahaman bahwa perilaku delinkuen (menyimpang) banyak terjadi di kalangan
laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk 'gang'. Perilaku delinkuen
merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah
yang cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang
sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai dengan
keinginan mereka sehingga menyebabkan kelompok usia muda kelas bawah ini
mengalami 'status frustration'. Menurut Cohen para remaja umumnya mencari
status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya karena adanya perbedaan
dalam struktur sosial.
Remaja dari kelas bawah cenderung tidak memiliki
materi dan keuntungan simbolis. Selama mereka berlomba dengan remaja kelas menengah
kemudian banyak yang mengalami kekecewaan. Akibat dari situasi ini anak-anak
tersebut banyak yang membentuk 'gang' dan melakukan perilaku menyimpang yang
bersifat 'non multilitarian, nonmalicious and nonnegativistick'. Cohen melihat
bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan dari subkulktur terpisah dari
sistem tata nilai yang berlaku pada masyarakat luas. Subkultur merupakan
sesuatu yang diambil dari norma budaya yang lebih besar tetapi kemudian
dibelokkan secara berbalik dan berlawanan arah. Perilaku delinkuen selanjutnya
dianggap benar oleh sistem tata nilai sub budaya mereka, sementara perilaku
tersebut dianggap keliru oleh norma budaya yang lebih besar dan berlaku di
masyarakat.
2.2.4
Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
Menurut Cloward dan Ohlin terdapat lebih dari satu
cara bagi para remaja untuk mencapai aspirasinya. Pada masyarakat urban yang
merupakan wilayah kelas bawah terdapat berbagai kesempatan yang sah, yang dapat
menimbulkan berbagai kesempatan. Dengan demikian kedudukkan dalam masyarakat
menentukan kemampuan untuk berpartisipasi dalam mencapai sukses baik melalui
kesempatan konvensional maupun kesempatan kriminal.
Menunit Cloward dan Ohlin terdapat 3 jenis sub
kultur tipe gang kenakalan remaja. Pertama, criminal subculture, bilamana
masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para
remaja yang belajar dari orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan organisasi
kriminal. Kriminal sub kultur lebih menekankan pada aktivitas yang menghasilkan
keuntungan materi dan berusaha menghindari kekerasan. Kedua, a retreatist
subculture. Sub kultur jenis ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan
dan aktivitas gang lebih mengutamakan pencarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan
termasuk juga melakukan konsumsi terhadap narkoba. Ketiga, conflict sub
culture. Dalam masyarakat yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya
organisasi. Gang tipe ini akan memperlihatkan perilaku yang bebas. Kekerasan,
perampasan, hak milik dan perilaku lain menjadi tanda gang tersebut. Para
remaja akan melakukan kenakalan jika menghadapi keadaan tegang, menghadapi
tekanan-tekanan serta keadaan yang tidak normal.
2.2.5
Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes
Menurut teori ini orang yang
melakukan perilaku menyimpang disebabkan adanya kecenderungan untuk
merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan
mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara mengikuti arus
pelaku lainnya melalui sebuah proses pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk
netralisasi yang muncul pada orang yang melakukan perilaku menyimpang. Pertama, the denial of responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai
korban dan tekanan-tekanan sosial, misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan
dan lingkungan yang kurang baik dan sebagainya. Kedua, the denial of injury,
mereka berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian
besar di masyarakat. Ketiga, the denial of victims, mereka biasanya
menyebut dirinya sebagai pahlawan, dan menganggap dirinya sebagai orang yang
baik dan berada. Keempat, condemnation of the condemnesr, mereka
beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang
munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung. Kelima, appeal to higher
loyalitiy, mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan
masyarakat luas dan hukum dengan kepentingan kelompok kecil atau minoritas
darimana mereka berasal atau tergabung misalnya kelompok gang atau saudara
kandung.
2.2.6
Teori Kontrol
Teori ini beranggapan bahwa individu dalam
masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak
melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik).
Baik tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya
perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987).
Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang dengan
masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang
termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Seseorang yang terlepas ikatan sosial dengan
masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan.
Manakala dalam masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara
maksimal maka akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial
anggota masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota
masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang.
Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan
perilaku termasuk penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan zat
adiktif lainnya berpeluang besar untuk dilakukan oleh masyarakat luas khususnya
anggota masyarakat pada usia remaja atau dewasa awal.
2.3 Ciri-Ciri
Perilaku Menyimpang
Banyak ahli telah
meneliti tentang ciri-ciri perilaku menyimpang pada remaja. Menurut Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt (1996), ciri-ciri yang bisa diketahui dari perilaku
menyimpang sebagai berikut.
a.
Suatu
perbuatan disebut menyimpang bilamana perbuatan itu dinyatakan sebagai
menyimpang.
b.
Penyimpangan
terjadi sebagai konsekuensi dari adanya peraturan dan penerapan sanksi yang
dilakukan oleh orang lain terhadap si pelaku menyimpang.
c.
Ada
perilaku menyimpang yang bisa diterima dan ada yang ditolak.
d.
Mayoritas
remaja tidak sepenuhnya menaati peraturan sehingga ada bentuk penyimpangan yang
relatif atau tersamar dan ada yang mutlak.
2.4 Faktor
Pendorong Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang
dapat terjadi di manapun dan dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk remaja. Sepanjang
perilaku menyimpang terjadi, keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu.
Banyaknya kejahatan di lingkungan masyarakat menunjukkan adanya pelanggaran
nilai dan norma. Dari hari ke hari modus kejahatan yang dilakukan remaja
semakin kompleks.
Banyak faktor atau
kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang, baik berasal dari
dalam diri individu, maupun dari pengaruh luar diri individu tersebut. Sebagai
contoh, dalam studi Lewin mengungkapkan bahwa 90 % anak-anak yang bersifat
jujur berasal dari keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis, sedagkan 75 %
anak-anak pembohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis atau disebut broken home. Adapun factor-faktor yang
penyebab terjadinya perilaku menyimpang dijelaskan sebagai berikut.
a.
Faktor
dari diri Individu
1) Potensi kecerdasan
yang rendah.
2) Mempunyai masalah yang
kompleks dan tidak dapat ditanggulangi diri.
3) Mengalami kesalahan
beradaptasi di lingkungan tempat tinggal.
4) Tidak menemukan figure
yang tepat untuk dijadikan pedoman dalam berkehidupan sehari-hari.
b.
Faktor
dari luar individu
1)
Lingkungan
keluarga
a)
Kekacauan
dalam kehidupan keluarga (broken home).
b)
Kurangnya
pengawasan dari orang tua.
c)
Kesalahan
cara orang tua dalam mendidik.
d)
Tidak
mendapat perlakuan yang sesuai dalam keluarga.
2)
Lingkungan
sekolah
a)
Longgarnya
disiplin sekolah.
b)
Kealahan
dalam sistem pendidikan sekolah.
c)
Perlakuan
guru yang tidak adil terhadap siswa.
d)
Kecenderungan
sekolah memandang kontribusi orang tua.
e)
Perlakuan
otoriter yang diterapkan guru-guru sekolah.
3)
Lingkungan
masyarakat
a)
Kurangya
partisipasi masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang remaja
dilingkungan masyarakat.
b)
Kemajuan
teknologi informasi yang pesat menyebabkan kebablasan informasi bagi remaja.
c)
Banyaknya
masyarakat yang cenderung mencontohkan perbuatan yang dilarang dan bahkan kriminal.
d)
Kerusakan
moral dalam komplek tempat tinggal.
2.5 Jenis-Jenis
atau Wujud Perilaku Menyimpang
Sudarsono, 1991 dalam
bukunya Kenakalan remaja mengatakan Juvenille Delinquency secara estimologis
dapat diartikan sebagai kejahatan anak, akan tetapi pengertian tersebut
memberikan konotasi yang cenderung negative atau negative sama sekali. Atas
pertimbangan yang lebih moderat dan mengingat kepentingan subyek, maka beberapa
ilmuwan memberanikan diri untuk mengartikan Juvenille Delinquency sebagai
kenakalan remaja. Psikolog Drs. Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari
kenakalan remaja sebagai berikut : tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut
dilakukan oleh orang dewasa maka perbuatan tersebut merupakan kejahatan, jadi
merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakaukan anak, khususnya anaka
remaja.
Dr Fuad Hasan dalam B.
Simanjuntak juga memberikan definisi kenakalan remaja sebagai perbuatan anti sosial
yang dilakukan anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa
dikualifikasikan sebagai kejahatan. Dari kedua pengertian di atas, Sudarsana
menarik benang merah diantara keduanya yaitu, kenakalan remaja adalah perbuatan
atau kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat
melawan hukum anti social, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.
Ada banyak sekali
jenis kenakalan yang telah dilakukan remaja pada saat ini, oleh karena itu ada
pengelompokkan kenakalan remaja di dalam seperti yang diungkapkan Sudarsono:
1.
Kejahatan
dengan kekerasan, termasuk didalamnya pembunuhan dan penganiayaan.
2.
Kejahatan
Pencurian, baik itu pencuriana biasa maupun pencurian dengan pemberatan.
3.
Penggelapan.
4.
Penipuan.
5.
Pemerasan.
6.
Gelandangan.
7.
Pemerkosaan.
8.
Kejahatan
Narkotika, termasuk didalamnya memakai dan mengedarkan narkotika.
2.6 Dampak
Perilaku Menyimpang
Apa yang akan terjadi jika perilaku menyimpang pada
remaja semakin merebak? Jelas situasi ini akan mengganggu keseimbangan dalam
berbagai segi kehidupan. Konformitas tidak tercapai, keamanan dan kenyamanan
menjadi terganggu. Oleh karena itu, berbagai pihak berusaha mengantisipasi
meningkatnya perilaku menyimpang dengan berbagai cara. Dampak yang timbul dari
perilaku menyimpang ini ibarat pedang bermata dua. Artinya, baik pelaku maupun
masyarakat sekitar merasakan dampak dari perilaku menyimpang tersebut.
Setiap orang yang melakukan perilaku
menyimpang oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang (devian). Hal ini
dikarenakan setiap tindakan yang bertentangan
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dianggap sebagai penyimpangan
dan, harus ditolak. Individu pelaku penyimpangan tersebut akan dikucilkan dari
masyarakat. Pengucilan kepada pelaku penyimpangan dilakukan masyarakat supaya
pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya. Pengucilan ini dapat terjadi di
segala bidang, baik hukum, adat atau budaya. Pengucilan secara hukum melalui
penjara, kurungan dan sebagainya. Kondisi ini membuat perkembangan jiwa si
pelaku menjadi terganggu. Seseorang yang ditolak dalam masyarakat jiwanya
menjadi tertekan secara psikologis. Timbul rasa malu, bersalah, bahkan
penyesalan dalam diri individu tersebut. Inilah dampak perilaku menyimpang bagi
diri si pelaku.
Perilaku menyimpang berdampak pula terhadap
kehidupan masyarakat. Pertama, meningkatnya angka kriminalitas dan pelanggaran
terhadap norma-norma dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan setiap tindak
penyimpangan merupakan hasil pengaruh dari individu lain, sehingga tindak
kejahatan akan muncul berkelompok dalam masyarakat. Misalnya seorang residivis
dalam penjara akan mendapatkan kawan sesama penjahat. Keluarnya dari penjara
dia akan membentuk "kelompok penjahat". Akibatnya akan meningkatkan
kriminalitas.
Selain itu perilaku menyimpang dapat pula mengganggu
keseimbangan sosial serta memudarnya nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Perilaku menyimpang yang tidak mendapatkan sanksi tegas dan jelas
akan memunculkan sikap apatis pada pelaksanaan nilai-nilai dan norma dalam
masyarakat. Akibatnya nilai dan norma menjadi pudar kewibawaannya untuk
mengatur tata tertib dalam masyarakat. Pada akhirnya nilai dan norma tidak
dipandang sebagai aturan yang mengikat perilaku masyarakat.
2.7 Usaha
Penanggulangan Perilaku Menyimpang Remaja
Usaha yang dilakukan
dalam menanggulangi perilaku menyimpang remaja dapat dikelmpokkan menjadi
tindakan pencegahan (preventif), pengentasan (curative), pembetulan
(corrective), dan penjagaan atau
pemeliharaan (perseverative). Usaha-usaha tersebut dapat dilakukan dengan cara
:
1.
Usaha
di lingkungan keluarga
a.
Menciptakan
keluarga yang harmonis, terbuka dan jauh dari
kekacauan. Dengan keadaan keluarga yang seperti ini, mengakibatkan
anak-anak remaja lebih sering tinggal dirumah daripada keluyuran di luar rumah.
Tindakan ini lebih mendekatkan hubungan orang tua dengan anaknya.
b.
Memberikan
kemerdekaan kepada anak remaja untuk mengemukakan pendapatnya dalam batas-batas
kewajaran tertentu. Dengan tindakan seperti ini, anak-anak dapat berani untuk
menentukan langkahnya, tanpa ada keraguan dan paksaan dari berbagai pihak.
Sehingga mereka dapat menjadi lebih bertanggung jawab terhadap apa yang mereka
kerjakan.
c.
Orang
tua selalu berbagi (sharing) pengalaman, cerita dan informasi kepada anak-anak
remaja. Sehingga mereka dapat memilih figure dan sikap yang cocok unutk
dijadikan pegangan dalam bertingkah laku.
d.
Orang
tua sebaiknya memperlihatkan sikap-sikap yang pantas dan dapat diteladani oleh
anak-anak mereka.
2.
Usaha
di lingkungan sekolah
a.
Menegakkan
disiplin sekolah yang wajar dan dapat diterima siswa dan penhuni sekolah.
Disiplin yang baik dan wajar dapat diterapkan dengan pembentukan aturan-aturan
yang sesuai dan tidak merugikan berbagai pihak.
b.
Pelaksanaan
peraturan dengan adil dan tidak pandang bulu. Tinadakan dilakukan dengan cara
memberikan sangsi yang sesuai terhadap semua siswa yang melanggar peraturan
tanpa melihat keadaan orang tua siswa tersebut. Seperti siswa yang berasal dari
kaluarga terpandang atau pejabat.
c.
Meningkatkan
kerja sama dengan masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar sekolah. Dengan
cara ini, masyarakat dapat melaporkan langsung penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan siswa di luar pekarangan sekolah. Seperti bolos, tawuran, merokok dan
minum minuman keras.
3.
Usaha
di lingkungan masyarakat
a.
Menegur
remaja-remaja yang sedang melakukan tindakan-tindakan yang telah melanggar
norma.
b.
Menjadi
teladan yang baik bagi remaja-remaja yang tinggal di lingkungan tempat tinggal.
c.
Mengadakan
kegiatan kepemudaan di lingkungan tempat tinggal. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama
dangan melibatkan remaja-remaja untuk berpartisipasi aktif.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Perilaku dikatakan menyimpang
apabila perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian terhadap diri sendiri
dan orang lain. Perilaku menyimpang cenderung mengakibatkan terjadinya
pelanggaran terhadap norma-norma, aturan-aturan, nilai-nilai, dan bahkan hukum.
Para ahli telah melakukan penelitian mengenai perilaku menyimpang ini. Dengan
penelitian tersebut, para ahli telah merumuskan berbagai macam teori dalam
kasus penyimpangan remaja. Adapu teori-teori tersebut adalah :
a.
Teori Differential Association
b.
Teori
Anomie
c.
Teori Kenakalan remaja oleh Albert K.
Cohen
d.
Teori
Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
e.
Teori Netralisasi yang dikembangkan
oleh Matza dan Sykes
f.
Teori Kontrol
Perspektif
atau teori yang paling tepat
dipergunakan untuk memahami kehidupan remaja sangat tergantung pada konteks dan
cara pandang yang di pakai. Tetapi, yang penting adalah untuk memahami dunia
remaja yang dibutuhkan kesediaan untuk berempati dan mengerti apa sebetulnya
keinginan, harapan, idiom, dan dunia kehidupan mereka. Tanpa adanya pemahaman
yang mendalam terhadap kehidupan remaja, semua tindakan dan cara-cara yang di
lakukan hanyalah aksi-aksi untuk menghakimi atau sekadar menyalahkan mereka
sebagai anak nakal yang tak patuh pada nasehat orang tua.
Perlaku
menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang tidak sehat baik dari segi
fisik, mental, social dan ekonomi. Bagaimana Negara ini di masa akan datang
apabila mereka remaja pada saat ini sudah tidak sehat semua, padahal mereka
adalah pemimpin di masa datang. Pencegahan kenakalan remaja lebih efektif dan
efisien daripada kita mengobati, meskipun kita juga harus menyembuhkan remaja
yang sudah terlanjur melakukan penyimpangan, pencegahan akan berjalan dengan
baik apabila ada sinergi dari pemerintah sebagai penentu kebijakan, institusi
pendidikan dimana mereka belajar dan lingkungan keluarga.
Daftar Pustaka
isaninside.files.wordpress.com/2009/01/tugas-akhir-ppd.doc
sangat bagus makalahnya dan bisa buat referensi makalah q
BalasHapus