Kata
Pengantar
Marilah kita memanjatkan
puja dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga kami bisa menyusun makalah ini
secara singkat untuk dapat memenuhi tugas dari guru pembimbing.
Dengan mempelajari dan
mengetahui tentang Sosial Budaya di Indonesia, kita bisa memperluas wawasan
kita dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu sosial.
Dalam menyusun makalah
ini, tentu masih terdapat kekurangan maupun kekeliruan, baik bahasa maupun kalimatnya.
Untuk itu sebagai penulis kami sangat mengharapkan saran dan kritikan yang
konstruktif demi sempurnanya penyusunan makalah kami ini.
Selanjutnya tak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam makalah ini,
yang tidak mungkin kami sebutkan sebutkan satu persatu sampai makalah ini dapat
dicetak.
Akhirnya teriring doa
semoga penjelasan dalam makalah ini dapat diterima oleh guru pembimbing.
Sejangkung, 12 Juni 2012
Penulis
Daftar
Isi
Kata Pengantar................................................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................................
Bab I Pembahasan..........................................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................
C. Tujuan Pembahasan............................................................................................
Bab II Pembahasan..........................................................................................................
A. Konsep Dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah
Indonesia........................
B. Kriteria Kemiskinan Bank
Dunia.........................................................................
C. Penyebab
Kegagalan............................................................................................
D. Strategi Penanggulangan
Kemiskinan.....................................................................
Bab III Penutup...................................................................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan
berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan
moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap,
budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat
diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang
diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang
sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya,
ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan
pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu
memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini
yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep dan
Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia?
2. Bagaimana Kriteria
Kemiskinan Bank Dunia?
3. Apa Penyebab Kegagalan
Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?
4. Bagaimana Strategi
Penanggulangan Kimiskinan di Indonesia?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Memberikan gambaran
keadaan kemiskinan di Indonesia.
2.
Dengan
mengetahui tingkat kemiskinan dan apa-apa saja yang menyebabkan kemiskinan kita
akan bisa dengan mudah menentukan arah kebijakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Indikator
Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah
kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin,
pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian
bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan ekonomi
(konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di
mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu
memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman
tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat
miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain
pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar,
dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan
kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang,
keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan
aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan,
sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat.
Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam
masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai
kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan
menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan
kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat
dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut
sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat
yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai
kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek,
1985).
Indikator
kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap
air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman,
lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya
migrasi.
Keterbatasan
kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya
asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan
ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari
2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan
terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk tahun ini meningkat cukup signifikan,
pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan
pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi
buruk.
Keterbatasan
akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan
layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya
pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan
reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan
pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi
oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan
pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga
kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen
pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan
sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian
kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya
pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal,
kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya
pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan
kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha,
dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak
dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.
Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan
yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran
hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan
permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih
dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan
akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan
sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah
ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota
keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya
jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3
tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan
lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung
menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000
pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya
partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan,
pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah
garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga
disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan
dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi,
menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih
besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan
rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga
miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
B. Kriteria Kemiskinan Bank
Dunia
Publikasi
Bank Dunia (2001) berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Salah
satu tema yang dikemukakan adalah perlunya memperluas definisi, fakta, dan
tujuan dari program anti kemiskinan. Selain "pujian" bahwa sampai
dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil "spektakuler"
dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kritik
bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan
terlalu menitikberatkan pada target angka. Garis kemiskinan misalnya,
ditekankan pada pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti yang
sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan pendekatan pembangunan yang
bersifat atas-bawah telah mengesampingkan banyak dimensi kemiskinan yang
meskipun sulit diukur, tetapi sangat penting. Dengan hanya melihat mereka yang
secara statistik masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan, pendekatan ini
menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan menjauhkan dari realitas penduduk
miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan
angka dan menjauhkan diri dari target matematik tentu juga tidak mungkin,
karena bagaimanapun angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu
menitikberatkan pada pencapaian target statistik juga tidak bijaksana karena
terlalu menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan
penggunaan indikator pembangunan internasional yang disusun oleh wakil dari
komunitas internasional dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya. Perluasan
target penanggulangan kemiskinan seperti disarankan oleh Bank Dunia tersebut
lebih terfokus pada kedalaman target yang telah ditetapkan selama ini. Pada
dimensi standar kehidupan materiil misalnya, proporsi penduduk miskin tahun
1999 adalah 27%, sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar
13,5%. Pada dimensi sumber daya manusia dapat juga dikembangkan target misalnya
angka tamat pendidikan dasar pada kelompok penduduk paling miskin, tingkat
kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses terhadap prasarana,
apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun sanitasi
dapat ditingkatkan lima tahun mendatang. Peningkatan partisipasi kalangan
penduduk miskin dalam keputusan politik setempat yang memengaruhi kehidupan
mereka, melalui program tertentu, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya.
Selama
kurun waktu 1975–1995 Indonesia telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan
terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun
1975 menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama umur harapan
hidup mengalami peningkatan dari 47,9 tahun menjadi 63,7 tahun, angka kematian
bayi per seribu kelahiran bisa ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi
sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95, dan tingkat partisipasi sekolah
menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%.
Ukuran
yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian,
yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per
hari (Tamar Manuelyan Atinc). Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh
penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam
hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta
jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia.
Di
Indonesia pada tahun 1999, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari
sebanyak 7,7 persen. Namun, jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar AS per
hari ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7
persen memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di
atas 1 dollar AS per hari, tapi masih di bawah 2 dollar AS. Pemerintah harus
menjaga kestabilan makro ekonomi kalau tidak mau jumlah penduduk miskin
bertambah.
Secara
umum, indikator untuk mengukur kaya, miskin, setengah miskin, hingga sangat
miskin, sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Orang miskin yang aktif bekerja
ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau
pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%)
merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan
mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha
(Tambunan, 2002).
1.Usaha Mikro
Keberadaan
usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan
rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini,
memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal
yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development atau development
through equity. Disamping mengakomodasi pemerataan seperti disebut di atas,
mengembangkan kelompok usaha ini secara riil strategis, setidaknya dilihat
beberapa alasan yaitu: 1) mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif
sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan
penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti; 2) apabila kelompok ini
diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berpindah menjadi sektor
usaha kecil; 3) secara efektif mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka
sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta
usia lanjut dan muda. Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari
usaha mikro (oleh World Bank disebut economically active poor) dalam
mengurangi kemiskinan.
Melihat
peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha
ini kebanyakan sulit berkembang. Untuk menelusuri hal tersebut, tabel di bawah
ini akan menunjukkan berbagai persoalan yang menjerat para pengusaha mikro.
Bagi pengusaha mikro, persoalan permodalan (aksesibilitas terhadap modal)
ternyata merupakan masalah yang utama.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
Jenis
Kesulitan
|
IKR
|
IK
|
1.
Kesulitan modal
|
34.55%
|
44.05%
|
2.
Pengadaan bahan baku
|
20.14%
|
12.22%
|
3.
Pemasaran
|
31.70%
|
34.00%
|
4.
Kesulitan lainnya
|
13.6%
|
9.73%
|
Sumber:
Data BPS terolah (1999)
IKR:
Industri Kecil Rumah Tangga
IK:
Industri Kecil
Masyarakat
lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak
dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga
menyebabkan laju perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi
saja. Kelompok masyarakat ini dinilai tidak layak bank (not bankable)
karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan kemampuan mengembalikan
pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan mahalnya biaya
transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro
terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan
modal apa adanya yang mereka miliki. Tabel data di bawah ini akan memperlihatkan realitas
tersebut.
Darimana
Modal Diperoleh
Uraian
|
IKR
|
IK
|
_
Modal Sendiri
_
Modal Pinjaman
_
Modal Sendiri dan Pinjaman
|
90.36%
3.20%
6.44%
|
69.82%
4.76%
25.42%
|
Jumlah
|
100%
|
100%
|
Asal Pinjaman
_
Bank
_
Koperasi
_
Institusi Lain
Lain-lain
|
18.79%
7.09%
8.25%
70.35%
|
59.78%
4.85%
7.63%
32.16%
|
Sumber:
Data BPS terolah (1998)
Salah
satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan
masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia
sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak
100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan
kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit
Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.
MS
merupakan tanda dimulainya gerakan global pemberdayaan masyarakat dengan
penguatan dana kepada masyarakat dengan berdasarkan pengalaman dari banyak
negara. MS juga memberi semacam semangat baru karena MS tidak hanya menampilkan
keragaan keberhasilan kegiatan keuangan mikro dalam memberdayakan masyarakat
(perekonomian rakyat), tetapi juga mematrikan suatu janji bersama untuk
menanggulangi kemiskinan global sebanyak 100 juta keluarga (atau sekitar 600
juta jiwa).
Keuangan
mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises)
untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih
lancar dan lebih "besar". Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah
mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga
Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan
mereka.
Jumlah
dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut
Daerah, 1996-2005
Tahun
|
Jumlah Penduduk Miskin (juta)
|
Persentase Penduduk Miskin
|
||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
|
1996
|
9,42
|
24,59
|
34,01
|
13,39
|
19,78
|
17,47
|
1998
|
17,6
|
31,9
|
49,5
|
21,92
|
25,72
|
24,23
|
1999
|
15,64
|
32,33
|
47,97
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
2000
|
12,3
|
26,4
|
38,7
|
14,6
|
22,38
|
19,14
|
2001
|
8,6
|
29,3
|
37,9
|
9,76
|
24,84
|
18,41
|
2002
|
13,3
|
25,1
|
38,4
|
14,46
|
21,1
|
18,2
|
2003
|
12,2
|
25,1
|
37,3
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
2004
|
11,4
|
24,8
|
36,1
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
2005
|
12,4
|
22,7
|
35,1
|
11,37
|
19,51
|
15,97
|
Sumber:
Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Berita
Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006. 3
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan persentase penduduk miskin pada
periode 1996-2005 berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya
kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 (Tabel 1). Jumlah penduduk miskin
(penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret
2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin
pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah
penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara
daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41
persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
C. Penyebab Kegagalan
Pada
dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial
untuk orang miskin. Hal tersebut antara lain berupa beras untuk rakyat miskin
dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini
akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan
tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini
justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan
untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi
produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.
Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan
korupsi dalam penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan
tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan
sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor
kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu
sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada
isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
D. Strategi Penanggulangan
Kemiskinan
Strategi
untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi
saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan
menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara
lokal.
Untuk
mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi
pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi
beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan
produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan
produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat
terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program,
pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program
penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya
masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang
disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah
satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun
spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia
mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan
adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah karena usaha ini
telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui
ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain
itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan
kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan
berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan
swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM,
akademisi, lembaga-lembaga donor, dan lain-lain.
Pengembangan
UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM
karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada
UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial
tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri.
Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM
merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka
pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan
LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan.
Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan
mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang
diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
B.
Saran
Secara
pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan atau pun kejanggalan. Untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah
selanjutnya.
Daftar
Pustaka
http://lurahkayangan.blogspot.com/2012/06/makalah-perekonomian-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar